JANJI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung untuk membantu tim pemenangan pasangan calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka, bukan hanya layak kita cibir, namun juga patut dikasihani.
Mestinya Presiden RI Ke-6 itu berada di posisi yang lebih terhormat dibanding koar-koar di lapangan menyokong kebocoran demokrasi. Sebab kita yakin, andai proses kontestasi Pemilihan Presiden 2024 sesuai skenarionya, SBY pasti menolak ikut-ikutan memberikan legitimasi pada produk hukum yang cacat moral dan etika.
Seperti kita ketahui, Partai Demokrat memberikan dukungan kepada Prabowo setelah secara emosional membatalkan dukungan kepada Anies Rasyid Baswedan. Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, SBY dan kader-kadernya menuding Anies berkhianat karena memilih Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres-nya.
Meski dipoles sejumlah alasan retoris dan moralis, publik dengan mudah menghubungkan keputusan emosional Demokrat dengan langkah politik SBY sebelumnya yang terkesan menginginkan Anies memilih Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Namun SBY pastinya tidak menduga jika keputusannya kini menjadi bumerang. Demokrat yang selama hampir 10 tahun bersikap oposan terhadap pemerintahan Joko Widodo, mendadak harus memutar haluan hingga 180 derajat ketika Prabowo menggandeng Gibran.
Lebih tragis lagi, dukungan yang diberikan kepada Prabowo-Gibran gratis segratis-gratisnya secara politik. Efek ekor jas (coat-tail effect), yang biasanya didapat dari pendukung capres-cawapres yang diusung, tidak akan diperoleh Demokrat.
Pendukung Prabowo, tetap akan memilih Partai Gerindra. Sedang relawan Jokowi sudah punya saluran aspirasi politik sendiri yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang dinahkodahi oleh putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep.
Sebersit asa Jokowi akan mengangkat AHY menjadi menteri sebagai imbal-balik dukungan, layu sebelum berkembang. Posisi Demokrat dalam tim pemenangan Prabowo-Gibran pun, tidak lebih sebagai pelengkap.
Partai Demokrat yang sempat dianggap memiliki kans masuk 3 besar dalam kontestasi Pemilu 2024, telah kehilangan momentum sekaligus posisi tawar (bargaining position). Dan hal itu tidak lucu sama sekali mengingat SBY bukan politisi kaleng-kaleng dan bukan juga "jenderal cengeng".
Reputasi dan prestasi SBY sudah diakui dunia. Oleh karenanya kita merasa kasihan ketika di masa kampanye nanti, SBY bergantian toa dengan jurkam kampung untuk mempromosikan cawapres "karbitan", yang sama sekali tidak memberi keuntungan elektoral bagi partai dan kader-kader Demokrat yang sedang berjuang menjadi calon anggota legislatif.