Siapa calon presiden yang didukung oleh Presiden Joko Widodo? Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang telah dideklarasikan oleh PDIP, atau Menteri Pertahanan Prabowo Subianto? "Blunder" kecil Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berbuntut pemanggilan oleh DPP PDIP, menyiratkan adanya kegalauan langkah politik Sang Presiden.
Sebelum membahas siapa sosok capres yang didukung Presiden Jokowi, sebaiknya kita menyimak kembali gejolak politik dalam setahun terakhir. Dari sana kita dapat memetakan preferensi politik Jokowi.
Gagalnya wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dengan alasan pandemi, perubahan periodisasi dari dua menjadi tiga periode, hingga tukar guling jabatan di mana mantan presiden diperbolehkan mencalonkan diri sebagai wakil presiden dan sebaliknya, tidak menghentikan upaya pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo.
Cara terakhir yang dipilih adalah dengan memastikan seluruh capres berasal dari kubu istana. Istilah "All Jokowi's Men" menggema ketika Presiden Jokowi meng-endorse Ganjar dan Prabowo. Ucapan dan gestur dukungan diungkap secara terbuka dan berulang-ulang, di berbagai kesempatan.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi bukan kebetulan atau sekedar joke politik. Menurut Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy (Rommy) Jokowi memang menginginkan hanya ada dua capres pada gelaran Pilpres 2024. Masifnya lembaga-lembaga survei "meng-endorse" Ganjar dan Prabowo juga dapat menjadi tetenger lainnya.
Sebenarnya skenario Presiden Jokowi tidak salah. Wajar jika Jokowi ingin menjadi king maker sehingga penggantinya benar-benar sosok yang dijamin bisa mikul duwur mendem jero; menjunjung tinggi kebaikan dan prestasinya, sekaligus mengubur hal-hal yang buruk.
Dengan demikian Jokowi bisa soft landing dan "tidur nyenyak" setelah lepas jabatan. Tidak perlu risau pada program kerja yang belum selesai, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), atau kepikiran program kerja yang mungkin bersinggungan dengan hukum.
Namun skenario dua capres tidak tepat, sekedar tidak mengatakan salah, jika untuk mewujudkannya menggunakan pengaruh kekuasaan (abuse of power). Contoh kecilnya, memakai Istana Negara untuk membahas skenario demikian itu.
Lebih tidak elok lagi, andai sampai mengorbankan ruh demokrasi. Misal, melakukan penjegalan terhadap capres yang diusung kubu oposisi melalui tangan-tangan kekuasaan, hukum maupun "main kayu" seperti merebut partainya melalui cara-cara inkonstitusional. Sebab, sekali pun di sisi lain adalah juga petugas partai, Presiden harus berdiri di atas semua golongan, memberikan kesempatan yang sama dan berlaku adil kepada seluruh anak bangsa sehingga demokrasi berjalan sesuai amanat konstitusi.
Mengebiri pilpres dengan hanya menghadirkan dua capres melalui cara-cara yang tidak baik, jelas mencederai, bahkan mengkhianati demokrasi. Dengan mudah Istana akan dituding berada di balik penolakan judicial review UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menutup peluang munculnya capres dan cawapres lebih dari dua pasang.