POSISI Indonesia dalam perang Rusia versus Ukraina sangat strategis. Namun hal itu tidak cukup untuk bertindak sebagai penengah. Dibutuhkan beberapa prasyarat kuat agar kedua pihak mau menghormati sang juru runding.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengakhiri misi bersejarahnya untuk mendamaikan perang Rusia-Ukraina. Perang di belahan utara itu memang tidak menguntungkan banyak pihak
Jika sampai terjadi konfrontasi terbuka antara Rusia dengan blok NATO yang mendukung Ukraina, dipastikan seluruh negara di dunia akan terdampak, termasuk negara-negara di kawasan Asia-Afrika yang tidak terlibat.
Oleh karenanya, sebagai warga negara Indonesia, kita sangat mengapresiasi dan mendukung penuh upaya yang dilakukan Presiden Jokowi. Hal itu sesuai dengan amanat konstitusi yakni ikut menjaga ketertiban dunia.
Tulisan ini tidak mengurangi semangat itu. Lebih pada kecewa dengan sikap Presiden Rusia Vladimir Putin yang terkesan "mengabaikan" upaya Jokowi.
Sebelum meninggalkan Ukraina, Presiden Jokowi mengatakan membawa pesan dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang akan disampaikan kepada Putin. Meski tidak dibuka ke media, kita yakin pesan itu berisi "syarat perdamaian" yang diminta Zelensky.
Tetapi sepanjang pertemuan dengan Jokowi, setidaknya yang diberitakan media, Putin sama sekali tidak memberi tanggapan atas upaya Jokowi. Putin seperti tidak menganggap kedatangan Jokowi dalam rangka membawa misi perdamaian.
Putin justru memanfaatkan kunjungan Jokowi sebagai panggung kepentingannya. Putin menyatakan tertarik untuk melakukan investasi ekonomi di Indonesia yang tidak termasuk dalam agenda kunjungan Jokowi.
Kita tidak yakin Jokowi memanfaatkan kunjungan tersebut untuk misi lain, semisal menawarkan proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur. Seyakin Jokowi tidak membawa tawaran pembangunan pembangkit nuklir di Indonesia.
Sebab jika Jokowi membawa mis itu, tentu akan melukai Ukraina. Bahkan pihak Ukraina mungkin akan berpikir berbeda.