Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Mengenal Darurat Militer yang Dianalogikan Menko PMK

Diperbarui: 16 Juli 2021   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menko PMK Muhadjir Effendy. Foto: kompas.com

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menganalogikan kondisi saat ini sudah darurat  militer meski tidak dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo. Tepatkah analogi itu?

Untuk menjawabnya harus dicari pembanding situasi saat ini dengan kondisi darurat militer seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 23/Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Indonesia saat ini, menurut Muhadjir, sudah menghadapi perang asimetris melawan Covid-19. Oleh karenanya Presiden Jokowi sudah menerjunkan TNI dan Polri karena sudah tidak bisa dihadapi dengan penanganan biasa.  

Musuh yang dihadapi, menurut Muhadjir, bukan tentara konvensional, melainkan pasukan tak terlihat yakni virus.

Beranjak dari pernyataan Muhadjir, sejauh ini posisi TNI masih sebatas mem-back up polisi karena berada di ranah sipil dan belum ada deklarasi keadaan darurat militer. Tentara tidak dapat bergerak sendiri melakukan penertiban atau mengeluarkan aturan karena memang belum ada declare darurat militer. Ingat, penyataan negara dalam kondisi darurat, baik sipil maupun militer, merupakan hak prerogatif presiden.

Mari sekarang kenali apa itu darurat militer. Sesuai Perppu 23/Prp, setelah presiden mendeklarasi keadaan negara dalam kondisi darurat militer maka maka penguasa di daerah adalah militer. Pimpinan di tingkat provinsi dipegang Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) dan di tingkat kabupaten/kota dibawah kendali Komando Resor Militer (Korem) dan terus berjenjang ke Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil) hingga Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Dalam kondisi darurat militer, maka kepala daerah (gubernur atau bupati/wali kota) dan kepala kepolisian daerah membantu pimpinan militer. Komandan militer bisa mengeluarkan aturan untuk menertibkan warga sipil. Militer dapat melakukan operasi atau razia di ranah sipil dengan tau tanpa didampingi polisi.

Bahkan dalam perspektif lebih luas, kekuasaan sipil sesungguhnya telah demisioner ketika kondisi darurat militer diberlakukan.

Mengacu pada kondisi saat ini dan pengertian darurat militer, maka analogi Muhadjir kurang tepat. Lebih tepat jika analogi yang digunakan adalah darurat sipil. Bahkan pada saat penerapan pembatasan sosial berskala besar di awal terjadinya lonjakan kasus Covid-19, Presiden Jokowi sempat mewacanakan darurat sipil. Pernyataan Jokowi yang disampaikan saat memimpin ratap terbatas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Istana Bogor untuk menjawab desakan lockdown yang ditolaknya.

Sama seperti darurat militer, ketentuan darurat sipil juga diatur dalam Perppu 23/Prp tahun 1959 dan dideklarasikan oleh presiden.  

Bedanya, dalam darurat sipil kepala daerah justru memiliki kewenangan lebih besar karena posisinya menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). Untuk wilayah provinsi kekuasaan ada di tangan gubernur dibantu pangdam dan kapolda. Rantai komando berjenjang ke bawah dengan struktur yang sama. PDSD memiliki kewenangan mengatur ketertiban masyarakat dengan pendekatan keamanan sipil, termasuk tindakan polisional.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline