Jaksa Pinangki Sirna Malasari bisa menarik nafas lega setelah jaksa penuntut umum memutuskan tidak mengajukan kasasi. Artinya putusan pengadilan terakhir langsung berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sesuai aturan setelah kasusnya inkrah maka segera dilakukan pemecatan tidak hormat dari status PNS-nya. Tetapi melihat proses hukumnya, timbul pertanyaan, mungkinkah Pinangki akan lolos dari sanksi pemecatan?
Seperti diketahui, setelah ditangkap oleh Kejaksaan Agung tanggal 11 Agustus 2020 karena diduga menerima suap sebesar Rp 7,4 miliar dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra, Pinangki langsung ditahan di rutan Salemba.
Pinangki kemudian dijerat dengan Pasal 5 Ayat (2) UU Tipikor. Hukuman maksimal untuk pasal ini adalah 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 250 juta.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. JPU menuntut Jaksa Pinangki dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (2) junto Pasal 5 Ayat (1) huruf (a) UU Tipikor. Jaksa yang dikabarkan pernah melakukan operasi plastik itu juga didakwa melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Thaun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 15 junto Pasal 5 Ayat (1) huruf (a) UU Tipikor subsider Pasal 15 junto Pasal 13 UU Tipikor.
Dalam dakwaannya JPU menyebut Pinangki menerima suap yang dimaksudkan untuk melakukan pemufakatan jahat dalam pengurusan fatwa di Mahkamah Agung. Fatwa ini bertujuan agar Djoko Tjandra tidak perlu menjalani vonis 2 tahun penjara yang sudah inkrah. Bahkan beredar rumor uang hasil kejahatannya sebesar Rp 546 miliar akan dikembalikan.
Terkait keberadaan uang tersebut memang cukup menarik karena pernah ditanyakan oleh mantan Ketua KPk Antasari Azhar yang saat perkara cessie Bank Bali bergulir bertindak sebagai JPU. Terhadap kecurigaan Antasari, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimulyadi pada tahun 2020 lalu mengatakan uang hasil kejahatan Djoko Tjandra sudah disetor ke kas negara pada 29 Juni 2009 setelah kasusnya inkrah meski yang terpidana melarikan diri ke Singapura.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor kemudian menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 8 bulan kurungan kepada Jaksa Pinangkl. Hakim meyakini Pinangki terbukti melakukan tindak pidana suap, TPPU dan pemufakatan jahat. Artinya seluruh dakwaan JPU dinyatakan terbukti.
Tidak terima, Jaksa Pinangki mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Jakaarta lantas menyunat hukumannya menjadi hanya 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan penjara.
Menariknya salah satu pertimbangan majelis hakim menyjnat hukumannya adalah status Pinangki sebagai wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan adil. Selain itu Pinangki memiliki anak berusia 4 tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang. Pertimbangan lainnya, telah mengakui dan menyesali perbuatannya serta iklas dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Seperti umumnya persoalan di negeri ini, opini publik pun terbelah antara yang pro dan kontra terhadap putusan banding Pinangki. Namun yang pasti aktivis anti-korupsi menganggap putusan tersebut mencederai rasa keadilan. Bukan saja karena Pinangki seorang penegak hukum yang mestinya menjaga marwah hukum, namun pertimbangannya sebagai wanita yang memiliki balita sungguh sulit diterima nalar sehat. Sebab dalam banyak kasus lain, semisal terpidana korupsi Angelina Sondakh, tidak ada pertimbangan semacam itu.
Di tengah derasnya kecaman dan desakan agar JPU melakukan kasasi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono meminta agar kasus Jaksa Pinangki tidak dibesar-besarkan karena negara sudah untung mendapat mobil. Seperti diketahui mobil BMW X-5 milik Pinangki dirampas negara sebagai barang bukti TPPU.