Diah Pramana Rachmawati demikian nama lahir Hj. Rachmawati Soekarnoputri, S.H., M.H. Namanya banyak disebut media dalam 20 tahun terakhir sebagai sosok antagonis dalam trah Soekarno, di mana sosok protagonis diperankan dengan baik oleh Hj. Megawati Soekanoputi, sang kakak yang juga ketua umum PDI Perjuangan.
Benarkah Rachma sosok pencipta konflik dalam keluarga besar Presiden RI I? Dalam politik, sosok protagonis dan antagonis seringkali hanya dibedakan dari sudut yang sangat sempit: kekuasaan. Dalam sudut pandang yang lebih luas dan kekinian, protagonis -- antagonis adalah penguasa -- oposisi. Kebetulan Rachma selalu berada di luar istana dan Mega berkelindan dengan kekuasaan.
Perseteruan Rachma dan Mega dapat ditelisik hingga ke masa Orde Baru. Genderang ditabuh tidak lama setelah Mega menerima pinangan Soerjadi untuk bergabung dengan PDI yang merupakan partai hasil fusi 1973. Megawati bahkan akhirnya masuk ke Senayan setelah terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah hasil Pemilu 1987.
Bergabungnya Mega ke PDI tidak terlepas dari peran Leonardus Benny Moerdani. Menjelang Pemilu 1987 situasi politik dibayang-bayangi keretakan hubungan Benny Moerdani yang menjabat Panglima ABRI sekaligus Panglma Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), dengan Presiden Soeharto. Konon saat menemani bermain bilyar, Benny sempat menyarankan kepada Soeharto untuk melarang putra-putrinya berbisnis karena dimanfaatkan oleh pihak luar dan rawan terjadi tindak korupsi serta nepotisme.
Seoharto pun marah dalam diam. Benny lantas melakukan pendekatan kepada keluarga besar Soekarno sebagai antisipasi. Ada teori yang menyebut, pendekatan itu sebagai bagian dari strategi Soeharto membelah keluarga Soekarno agar tidak menjadi kekuatan politik baru. Saat itu anak-anak Soekarno terutama Guntur, menjadi idola kelompok Marhaen yang menganggap sebagai titisan Sang Putra Fajar.
Namun teori tersebut menjadi tidak tepat karena seperti hasil riset Hadi Mustafa seperti dikutip Kumparan, anak-anak Soekarno terikat konsensus tidak akan terjun ke dunia politik sehingga dibebaskan bersekolah dan berbisnis.
Versi Rachma berbeda lagi. Kepada wartawan, Rachma pernah menyebut, di masa Orde Baru keluarga besar Soekarno punya konsesus untuk tidak bergabung atau mendukung rezim yang telah melengserkan ayahnya. Oleh karenanya, keputusan Mega bergabung dengan PDI dan menjadi anggota DPR yang mana untuk sampai ke situ harus melewati screening berupa penataran P4 dan Litsus agar keluar surat bersih diri dan bersih lingkungan.
Tujuan akhir proses ini adalah janji kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945 dan pemerintah yang berkuasa. Soeharto sukses memanipulasi Pancasila untuk melanggengkan kekuasaannya. Mengkritik Soeharto dan keluarganya akan mendapat label sebagai anti-Pancasila sehingga menjadi public enemy, dan susah mendapat pekerjaan.
Rachma terus melawan "pembangkangan" Mega. Namun sejarah mencatat, jalan yang ditempuh Mega justru mendapat simpati masyarakat. Terlebih Mega kemudian berani melawan Cendana dalam konflik internal PDI hingga terjadi peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. Usai reformasi yang digelorakan mahasiswa untuk menumbangkan rezim Soeharto, Mega tetap gagal merebut PDI hingga akhirnya mendeklarasikan partai baru, PDI Perjuangan yang tampil menjadi pemenang pada Pemilu 1999, pemilu pertama pasca Orde Baru.
Rachma tidak melihat hal itu sebagai peluang keluarga besar Soekarno bersatu. Rachma tetap mengambil jalan berseberangan dan meyakini dirinya bukan hanya anak biologis Soekarno namun juga anak ideologisnya. Dengan keyakinan itu, saat Mega berkuasa setelah menumbangkan KH Abdurahman Wahid dari kursi kepresidenan melalui Sidang Istimewa yang diinisiasi Ketua MPR (saat itu) Amien Rais, Rachma justru mendirikan Partai Pelopor. Pada saat bersamaan saudara lainnya, Sukmawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaen).
Menariknya, pada Pemilu 2004, Partai Pelopor gagal total, sedang PNI Marhaenisme hanya mendapat satu kursi di Senayan. Padahal saat itu pamor PDI Perjuangan sedang anjlok dengan hanya mendapat 109 kursi DPR dari sebelumnya 153 kursi. Megawati juga sedang diterpa isu penjualan aser negara dan PDI Perjuangan kehilangan tuah sebagai representasi partainya wong cilik.