Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

UU Pemilu dan Tukang Ketuk Palu Kebijakan Eksekutif

Diperbarui: 15 Februari 2021   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rapat paripurna DPR. Foto: kompas.com/TSARINA MAHARANI

Demokrasi yang kuat adalah ketika seluruh komponen trias politica berfungsi dengan baik sesuai kedudukannya. Saat legislatif hanya difungsikan sebagai tukang ketuk palu kebijakan eksekutif, maka sesungguhnya demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja.

Kemandirian DPR RI kembali menuai pertanyaan tajam karena terkesan kembali memposisikan diri sebagai pembeo kebijakan pemerintah tanpa reserve. Ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan rujukan hingga memunculkan kesan demikian itu.

Pertama ketika mayoritas anggota DPR "begitu mudah" mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19, menjadi UU.

Padahal Perppu tersebut mengebiri fungsi pengawasan DPR sekaligus memberikan kewenangan sangat luas kepada eksekutif untuk menggunakan anggaran negara tanpa harus meminta persetujuan DPR.

Perppu Nomor 1/2020 juga memberikan hak imunitas kepada  pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat 2 dan 3 di mana pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1/2020 tidak dapat dituntut secara hukum.

Padahal fakta menunjukkan, pengelolaan anggaran Covid-19 tidak selalu steril dari korupsi sebagaimana yang terjadi di Kementerian Sosial era Juliari Batubara. Uang bantuam sosial untuk warga miskin terdampak pandemi dijadikan bancakan politisi dan penyelenggara negara.

Kedua, pengesahan omnibus law Cipta Kerja. Mayoritas anggota DPR dengan semangat juang tinggi menjadi bemper eksekutif yang ingin RUU Cipta Kerja segera disahkan. Gelombang penolakan dan demonstrasi berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, diabaikan.

Bukan hanya "menulikan diri" dari aspirasi, DPR tanpa malu-malu mengerjakan pembahasan omnibus law Cipta Kerja dengan metode kejar target dan super kilat. Bisa ditebak, hasilnya pun acakadut sehingga harus beberapa kali revisi pasca pengesahan.

Ketiga, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Awalnya mayoritas fraksi DPR sepakat untuk melakukan pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada

Salah satu poin utama yang akan dibahas adalah terkait pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 yang oleh aturan sebelumnya akan dilaksanakan serentak tahun 2024.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline