Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko santer disebut masuk dalam daftar reshuffle kabinet yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat. Bukan saja kesimpulan terlalu pagi, namun juga asumsi tanpa dasar.
Dengungan akan ada reshuffle jilid 2 disampaikan JoMan Immanuel Ebenezer. Pernyataan Noel, diperkuat politisi PKB Faisol Riza. Bahkan Faisol membenarkan, yang akan didepak dari kabinet adalah satu dari dua nama yang disodorkan wartawan yakni Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Moeldoko.
Jika mengacu pada peristiwa kekinian, asumsi tentu tertuju pada Moeldoko yang disebut oleh sejumlah pengurus Partai Demokrat ikut mendalangi rencana mendongkel Agus Harimurti Yudhono (AHY) dari posisi ketua umum partai berlambang bintang Mercy.
Namun jika melihat karakter kepemimpinan Presiden Jokowi, hal itu mustahil terjadi. Jokowi bukan pemimpin yang mudah ditekan. Ada banyak catatan yang bisa menguatkan semisal pilkada serentak 2020 yang tetap dilaksanakan meski mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Apaklagi hanya sekedar isu rencana kudeta Partai Demokrat yang terlalu mudah dimentahkan. Jokowi sepertinya akan mengabaikan surat permohonan klarifikasi terkait dugaan keterlibatan orang dekat di lingkar istana. Jokowi menganggap hal itu urusan internal Partai Demokrat yang secara politik bukan bagian dari partai pendukung pemerintah.
Alasan kedua, Jokowi tidak ingin hak prerogatifnya didikte. Mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet adalah hak prerogatif presiden sehingga tidak mau ada pihak luar yang ikut campur.
Ketiga, menghormati partai-partai pendukung. Jika Jokowi mengalah pada "skenario" Demokrat, koalisi partai pendukungnya tentu akan bergejolak. Sebab seperti dikatakan Moeldoko saat jumpa pers, anggota kabinet yang ditemui kader Demokrat bukan hanya dirinya, namun juga Menko Kemaritiman dan Investasi Luhur Binsar Pandjaitan.
Bahkan Menko Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly ikut disebut-sebut.
Namun bukan berarti posisi Moeldoko aman. Desakan untuk mundur- meski secara halus, dipastikan akan berhembus untuk mengurangi tekanan ke Presiden Jokowi. Jika Moeldoko mundur, setidaknya para pengurus Demokrat dan simpatisannya, termasuk sebagian penggiat demokrasi, tidak memiliki celah untuk mengaitkan dengan Jokowi.
Hal itu juga sesuai dengan keinginan Moeldoko agar manuver Demokrat membeber rencana kudeta tidak dikaitkan dengan Jokowi, yang disebut Moeldoko tidak tahu-menahu. Namun keinginan itu akan sulit terwujud jika Moeldoko tetap berada di sisi Jokowi mengingat KSP merupakan lembaga yang langsung berada di bawah presiden.