Masyarakat Rohingya merayakan kudeta yang dilakaukan militer dan penangkapan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Mereka yanag kini tersebar di berbagai kamp pengungsi di luar negeri, berharap dapat segera kembali ke kampung halamannya.
Tentu menjadi pemandangan ironi ketika komunitas Rohingya bersuka-cita atas kudeta militer yang tidak hanya melumpuhkan, namun juga memadamkan nyala demokrasi di negaranya.
Tetapi jika melihat sepakterjang Daw Suu, panggilan hormat warga Myanmar kepada Aung San Suu Kyi, selama 6 tahun mengendalikan kekuasaan dari belakang layar, mungkin sikap itu dapat dipahami.
"Dia (Aung San Suu Kyi) alasan di balik semua penderitaan kami," ujar Farid Ullah, pemimpin Rohingya di pengungsian di Bangladesh.
"Jika otoritas kamp pengusian mengizinkan, Anda akan melihat ribuan Rohingya keluar dalam pawai perayaan," tambah Mirza Ghalib.
Di tempat itu ada satu juta warga Rohingya yang terusir dari kampung halamannya. Selain Bangladesh, Indonesia dan Malaysia juga menerima limpahan pengungsi Rohingya yang sempat terkatung-katung di tengah lautan medio 2017-2018 lalu.
Setelah dibebaskan junta militer dari tahanan rumah, yang dijalani selama 13 tahun dalam rentang 19 tahun, Aung San Suu Kyi diharapkan menjadi tokoh pemersatu dan merangkul semua pihak yang bertikai di negaranya. Peraih Nobel Perdamaian 1991 itu dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia yang menolak cara-cara di luar demokrasi yang dipraktekkan militer.
Setelah partainya, National League for Democracy (NLD) memenangi Pemilu 2015, secara de facto Suu Kyi adalah pemimpin Myanmar meski tidak duduk di kursi kepresidenan karena terganjal aturan perkawinan. Diketahui Aung San Suu Kyi menikah dengan Michaek Aris yang berkewarganegaraan Inggris.
Dunia menyambut kemenangan Aung San Suu Kyi dan berharap dapat menghentikan sepakterjang rezim militer yang brutal. Namun harapan itu kandas tanpa sisa ketika Suu Kyi mendiamkan militer Myanmar melakukan pembantaian, pemerkosaan hingga pengusiran terhadap etnis minoritas Rohingya yang beragama Islam yang oleh PBB diklasifikasikan sebagai genosida.
Kecaman deras pun mengarah ke Aung San Suu Kyi. Terlebih ketika dengan lantang membela aksi brutal militer di persidangan internasional di Den Haag, Belanda. Suu Kyi menyebut, militer hanya membalas serangan milisi Rohingya.