Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy (Romy) menuding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya copypaste dari dakwaan. Jaksa mengesampingkan fakta persidangan karena sudah ada hidden agenda terhadap dirinya.
Pernyataan Romy disampaikan usai sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Jaksa menuntut mantan anggota DPR itu dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan karena .
Seperti diketahui, Romy dianggap melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP setelah tertangkap tangan menerima suap yang diduga untuk mempengaruhi hasil seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama, khususnya jabatan kepala Kantor Wlayah Kemenag Jawa Timur dan kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik.
Tudingan Romy adanya agenda tersembunyi dibalik kasus yang menjeratnya bukan saja didasarkan pada tuntutan yang disebut hanya copypaste dakwaan, namun fakta jika posisi sebagai ketum PPP bukan satu-satunya alat untuk dapat mempengaruhi hasil seleksi jabatan di Kemenag. Menurut Romy kedudukannya sebagai anggota DPR Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankkan, juga dapat digunakan.
Romy pun mempertanyakan relevansi dirinya sebagai anggota DPR namun tidak dimasukkan sebagai unsur yang dapat mempengaruhi tindakannya. Penekanan hanya dilakukan dalam kedudukannya sebagai ketum PPP.
Dari situlah Romy menyimpulkan adanya hidden agenda KPK untuk mengucilkan partai politik, khususnya PPP. Dengan bahasa sederhana, penangkapan dirinya tidak semata terkait kasus korupsi namun ada agenda lain.
Romy pun menyeru kepada mantan koleganya di DPR untuk mengevaluasi proses hukum yang memiliki agenda tersembunyi untuk mendepolitisasi partai politik yang menyangkut jabatan publik.
Benarkah demikian? Mengapa Romy ingin agar kedudukannya sebagai anggota DPR dijadikan alasan untuk mempengaruhi Kemenag?
Pernyataan senada Romy sudah sering berkumandang. Setiap kali ada kader atau pengurus partai yang tertangkap KPK, isu adanya hidden agenda terhadap partai politik mencuat, termasuk saat Presiden PKS (saat itu) Luthfi Hasan Ishaaq dijerat KPK dengan tuduhan menerima suap terkait kuota impor daging sapi.
Beda halnya ketika Ketua Umum Partai Demokrat (saat itu) Anas Urbaningrum yang dijerat KPK di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Isunya bukan depolitisasi parpol, tapi "intervensi" Istana karena Anas dianggap mbalelo terhadap SBY selaku pendiri sekalgus dewan pembina Partai Demokrat .