Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Menunggu Jokowi Bawa Kapal Perang (Lagi) ke Natuna

Diperbarui: 6 Januari 2020   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol di Laut China. Foto: KOMPAS.com/Presidential Palace

Pengusiran terhadap nelayan Indonesia yang tengah mencari ikan di perairan Natuna oleh coast guard RRC bukan aksi sporadis, melainkan bagian dari klaim wilayah secara sepihak. China tidak peduli dengan sikap Indonesia.    

Setelah berhasil "menguasai" Kepulauan Spratly yang sebelumnya diklaim Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam, kini China pun menantang Indonesia. 

Klaim China atas perairan Natuna mengacu peta Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line) yang mereka buat sendiri dengan nelayan China sudah lama beraktivitas di situ dan relevant waters alias perairan terkait.

"Apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa China punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters)," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang, 2 Januari 2020 lalu.

Komentar Geng Shuang untuk menanggapi Indonesia yang memanggil Dubes China untuk menyampaikan protes keras dan nota diplomatik sehubungan dengan pelanggaran teritorial di Laut Natura yang dilakukan coast guard RRC. Apalagi, coas guard itu bukan hanya mengawal nelayan asal China, namun juga mengusir nelayan-nelayan Indonesia.

Beragam tanggapan berseliweran, termasuk pembelaan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut Indonesia kekurangan kapal coas guard untuk menjaga lau sehingga dimasuki nelayan asing. 

Luhut membantah peristiwa di Natuna akibat kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo yang terkesan "lembek" setidaknya jika dibandingkan dengan menteri terdahulu, Susi Pudjiastuti.

Padahal, klaim atas Natuna sudah lama, namun selama ini- setidaknya dalam 5 tahun terakhir,  China tidak pernah "mengirim" coast guard untuk mengawal nelayannya. 

Bahkan menurut Herman, Ketua Nelayan Lubuk Lumbang Kelurahan Bandarsyah, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, kapal ikan asing menyerbu perairan Natuna sejak seminggu setelah Susi lengser.

Indonesia mestinya lebih berani dalam melakukan diplomasi untuk mempertahankan wilayah kedaulatan NKRI. Tidak cukup dengan melakukan protes atas pelanggaran kedaulatan dan illegal fishing oleh coast guard China di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia seperti dikatakan Menlu Retno Marsudi.

Sebab China tidak mengakui putusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda yang memenangkan Filipina atas kepemilikan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Bahkan kegiatan militer di wilayah Spratly semakin intensif dan mengabaikan keberatan banyak negara, termasuk PBB dan Amerika Serikat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline