Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Utak-atik Masa Jabatan Presiden, untuk Siapa?

Diperbarui: 29 November 2019   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pimpinan MPR saat bertemu PBNU. Foto: KOMPAS.com/Fitria Chusna Farisa

Wacana Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengembalikan proses pemilihan presiden dan wakil presiden ke tangan MPR dapat mematik kembali menjadi pemicu perdebatan terkait sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Benarkah lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya?

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menyebut wacana yang disampaikan dalam pertemuan dengan pimpinan MPR itu merupakan keputusan Munas NU di Cirebon 2012 lalu. Meski demikian kita tetap wajib mewaspadai agenda di baliknya.

Sebab wacana itu dicuatkan kembali bersamaan dengan bergulirnya isu amandemen kelima UUD 1945 yang menjadi agenda partai-partai besar, terutama PDI Perjuangan dan Golkar. Meski mati-matian meyakinkan amandemen hanya bertujuan memberi kewenangan penyusunan GBHN kepada MPR, namun sulit menafikan kemungkinan adanya agenda-agenda terselubung yang kelak muncul di tengah pembahasan.

Bahkan saat ini saja sudah terdengar dengungan untuk meninjau masa jabatan presiden yang tentunya akan semakin kuat terdengar manakala amandemen UUD sudah masuk pembahasan. Siapa yang berani menjamin wacana pemangkasan masa jabatan presiden menjadi satu periode dengan durasi 7-8 tahun, tidak berubah menjadi 3 periode dengan alasan kehendak rakyat?

Wacana yang ditawarkan PBNU bisa digunakan sangat mungkin bagian dari strategi untuk membuka pintu pasal-pasal yang terkait dengan masa jabatan presiden. Antusiasme Ketua MPR Bambang Soesatyo menanggapi keputusan Munas PBNU, sangat mungkin berkorelasi dengan 'janji' Bamsoet kepada PDIP yang telah mendukungnya duduk di posisi sekarang ini. 

Bukan tidak mungkin wacana yang disampaikan PBNU akan menjadi menjadi trigger untuk mengutak-atik masa jabatan presiden manakala isu pemilihan presiden oleh MPR ditolak.

Pertanyaannya, ke mana muara dari isu-isu itu dan untuk siapa?

Ibarat sebuah bangunan, demokrasi yang sudah kita lakoni sejak 1998, sudah semakin baik dan kokoh. Bahwa kemudian muncul satu-dua ekses negatif, tidak lantas dijadikan alasan untuk kembali ke masa sebelum reformasi.

Dampak negatif terbesar yang sering dikeluhkan elit politik adalah terjadi polarisasi dan gesekan sosial di tengah masyarakat dalam setiap kontestasi politik naik di level daerah maupun tingkat nasional. Kita pun tidak menutup mata adanya relasi yang menjadi longgar bahkan terputus akibat dukung-mendukung dalam sebuah gelaran politik.

Tetapi sampai hari ini, letupan-letupan yang terjadi di tengah masyarakat masih dalam taraf "normal", setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara lain, semisal India.

Munculnya fanatisme berlebihan yang berujung keributan "kecil" antar saudara, antar teman, tidak boleh dijadikan pembenar untuk mengerdilkan kedewasaan berpolitik masyarakat secara umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline