Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto melakukan safari politik yang tidak biasa. Peran sebagai jangkar untuk menjembatani kepentingan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan parta-partai pendukung Presiden Joko Widodo, bisa menjadi blunder yang merugikan citra Gerindra.
Safari politik Prabowo diawali ketika musyawarah untuk memilih ketua MPR nyaris deadlock karena Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani ngotot ingin pemilihan digelar melalui voting.
Namun setelah Prabowo bertemu Megawati, Gerindra mundur dari bursa ketua MPR sehingga memuluskan langkah politisi Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang sudah didukung PDIP dan hampir seluruh partai koalisi pemerintah.
Dukungan PDIP kepada Bamsoet tentu tidak gratis. Sejak awal, PDIP menyeru hanya mendukung calon ketua MPR yang pro amandemen kelima UUD 1945. Dari sini jelaslah jika Bamsoet mendukung amandemen UUD.
Dengan terpilihnya Bamsoet, peta politik di MPR terkait amandemen UUD sudah terpetakan. Persoalannya, ada beda pandangan mengenai substansi amandemen UUD.
PDIP menginginkan amandemen hanya untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga penyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi panduan kerja Presiden.
Sementara Nasdem dan PKB menggunakan isu amandemen guna menaikkan posisi tawar terhadap PDIP dengan tujuan akhir adanya pembagian kursi kabinet yang sesuai dengan harapan mereka. Terlebih sudah ada isu, masuknya Gerindra ke kabinet yang didukung PDIP, akan mengurangi jatah menteri untuk Nasdem dan PKB.
Dari perspektif ini, safari politik Prabowo menjadi sangat strategis. Setelah bertemu Presiden Jokowi, Prabowo langsung menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan dilanjutkan dengan kunjungan ke Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Sangat mungkin, Prabowo sudah mendapat "bocoran" jatah menteri yang akan diterima. Namun demikian Prabowo harus dapat meyakinkan Surya Paloh dan Muhaimin.
Statement Surya Paloh yang pada intinya menghendaki amandemen UUD dilakukan menyeluruh, termasuk soal pemilihan presiden, serta tujuan pertemuan dengan Muhaimin yang disebut Prabowo untuk menghindari perpecahan, adalah kunci jawaban dari safari politik tersebut.
PDIP tentu tidak ingin pilpres dikembalikan ke tangan MPR. Sebagai partai besar, PDIP lebih sreg jika pilpres digelar secara langsung. Terlebih, sejarah mencatat, kader-kader PDIP di DPR bukan pelobi ulung.