Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Rekonsiliasi Airlangga-Bamsoet Bikin Panas Kursi Ketua MPR

Diperbarui: 29 September 2019   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo. Foto: KOMPAS.com/dok. GOLKAR 

Rivalitas antara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) berakhir setelah keduanya melakukan pertemuan. Meski Airlangga menyebut rekonsiliasi tersebut tanpa syarat, namun bisa dipastikan jatah kursi pimpinan MPR untuk Golkar akan jatuh ke tangan Bamsoet.

Jika Golkar bersedia menerima kursi Wakil Ketua MPR, tensi politik masih dalam kendali pemerintah. Persoalannya menjadi beda manakala Bamsoet ngotot meminta kursi ketua. Golkar harus siap mengorbankan jatah kursi di kabinet agar mendapat dukungan partai lain.

Seperti diketahui, DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) terkait penambahan kursi pimpinan MPR dari 5 menjadi 10.

Hal itu tertuang dalam Pasal 15 Ayat 1 yang selengkapnya berbunyi "Pimpinan MPR terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merupakan representasi dari masing-masing fraksi dan kelompok anggota yang dipilih dari dan oleh anggota MPR".

Artinya seluruh fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendapat jatah kursi Wakil Ketua MPR. Fraksi dan DPD tidak perlu berkeringat seperti sebelumnya. Pertarungan yang akan terjadi hanya untuk memperebutkan kursi ketua.

Tetapi di situ pula menariknya. Sebab sudah 5 fraksi yang mengincar kursi ketua MPR. PKB sudah menyebut nama Ketua Umum Muhaimin Iskandar sebagai calon. Gerindra mengajukan Sekretaris Jenderal Ahmad Muzani, sementara Nasdem mengajukan Lestari Moerdijat.

Jika Golkar ikut meramaikan dengan mengajukan Bamsoet, dapat dipastikan konstelasi politik di lingkar Istana kembali memanas. Sebab para kandidat tidak bisa lagi menawarkan kursi wakil ketua sebagai kompensasi dukungan seperti pada pemilihan pimpinan MPR 2014 lalu karena sudah menjadi hak tiap fraksi dan kelompok DPD.

Satu-satunya kursi yang dapat ditawarkan adalah jatah kursi kabinet dari Presiden Joko Widodo sebagai kompensasi atas dukungannya para Pilpres 2019 lalu. Partai Golkar dan PKB, misalnya, diprediksi akan mendapat jatah 2-3 kursi. Keduanya bisa "melelang" kursi di kabinet kepada partai yang memberikan dukungan di MPR.

Sesuatu yang lumrah dalam politik kontemporer, meski tetap harus mendapat persetujuan Presiden Jokowi selaku pemegang hak prerogatif.
Sebagai contoh, Golkar "menjual" satu kursi kabinetnya kepada PDIP dengan imbalan dukungan kepada Bamsoet. Atau PKB memberikan satu jatah kursi kabinet untuk Gerindra asal partai besutan Prabowo Subianto itu mendukung Muhaimin sebagai Ketua MPR, dengan catatan Gerindra sudah fix masuk ke pemerintahan Jokowi -- Ma'ruf Amin.

Dari peta di atas maka posisi Presiden Jokowi sangat menentukan. Kalkulasinya kemudian diselaraskan dengan kebutuhan politik saat ini. Isu Perppu KPK sebagai jawaban tuntutan mahasiswa setelah DPR mengesahlan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bisa menjadi pintu masuk untuk memprediksi siapa yang akan mendapat dukungan Jokowi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline