PDI Perjuangan tidak segan-segan meninggalkan partai koalisi di Pilpres 2019 jika keinginannya untuk mengamandemen UUD 1945 diganjal. Inikah hidden agenda PDIP, termasuk melempangkan jalan Presiden Joko Widodo agar bisa ikut bertarung di Pilpres 2024?
Keinginan PDIP untuk melakukan amandemen kelima UUD bukan hal baru. Sejak 2012 lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri gencar melakukan sosialisasi pentingnya amandemen kelima. Menurutnya, amandemen kelima merupakan keniscayaan.
Kini, setelah dua kali menjadi pemenang pemilu, PDIP cukup pede dengan memasukkan amandemen kelima UUD dalam keputusan Kongres V di Sanur, Bali, beberapa waktu lalu. Artinya kepengurusan PDIP yang baru mengemban amanat untuk mengamankan dan memperjuangkan terlaksananya amandemen kelima di MPR.
Lalu apa sebenarnya agenda PDIP dengan amandemen kelima UUD 1945? Ketua Bidang Luar Negeri DPP PDIP Ahmad Basarah menepis sejumlah spekulasi yang dicurigai sebagai agenda tersembunyi PDIP. Basarah menjamin amandemen kelima hanya terbatas pada pengaktifan kembali peran MPR sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan negara.
Tetapi siapa yang menjamin pembahasan amandemen di MPR tidak menjadi "liar" dan hanya menjadi ajang tawar-menawar kepentingan politik kelompok atau golongan tertentu saka? Sebab sebelumnya sejumlah pihak juga menghendaki amandemen kelima dengan agenda sendiri. Saat menjabat Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pernah menyuarakan pentingnya mengembalikan UUD 1945 versi asli atau sebelum dilakukan amandemen pertama hingga keempat.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga sudah lama menginginkan dilakukannya kembali amandemen UUD 1945 dengan tujuan untuk memperkuat posisi DPD. Salah satunya, DPD dilibatkan dalam penyusunan APBN, bukan hanya oleh pemerintah dan DPR seperti saat ini.
Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, keinginan untuk amandemen kelima juga sempat disuarakan dengan agenda tunggal mengubah masa jabatan presiden dari hanya dua periode menjadi tiga periode, atau bahkan tidak dibatasi lagi seperti di masa Orde Baru.
Ketua MPR Zulkifli Hasan menyebut draf amandemen kelima sudah selesai dibahas oleh anggota MPR sekarang dan isinya hanya sebatas menghidupkan kembali GBHN. Namun karena masih perlu penyempurnaan maka pengesahannya diserahkan kepada anggota MPR yang baru. Pertanyaan kita, siapa yang berani menjamin anggota MPR periode 2019-2024 tidak mengutak-atik kembali draf tersebut?
Belum lagi suara-suara yang menghendaki agar pemilihan bupati/wali kota diserahkan kembali kepada DPRD setempat dan gubernur ditunjuk langsung oleh presiden.
Bahkan andai amandemen kelima hanya sebatas mengembalikan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan memiliki kewenangan menyusun GBHN, kita tetap wajib menolaknya karena bukan merupakan solusi terbaik untuk "mengobati" kekuatiran Megawati terkait isu-isu kedaulatan dan kemandirian bangsa.