Ryamizard Ryacudu melempar wacana agar pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) dan anggota TNI, termasuk purnawirawan melakukan sumpah setia kepada Pancasila bagi. Jika diibaratkan perang antara nasionalis versus (politik) agama, inilah titik paling krusial untuk menentukan pemenang.
Menteri PertahananMenurut Menhan Ryamizard, imbauan tersebut dimaksudkan untuk menangkal paham radikalisme yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Padahal Pancasila merupakan perekat persatuan bangsa sehingga jika perekatnya hancur, maka hancurlah Indonesia.
Bukan hanya wacana sumpah setia bagi PNS/ASN dan prajurit TNI, Ryamizard juga mengaku sudah memanggil seluruh rektor dan meminta agar Pancasila dimasukkan ke dalam kurikulum.
Rencana jenderal bintang empat asal Lampung itu cukup mengejutkan, meski jika dikaitkan dengan beberapa statemen lain sebelumnya, bisa jadi merupakan muaranya.
Sebab pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta pemisahan politik dengan agama, pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di mana Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri duduk sebagai Ketua Dewan Pengarah, pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo --yang notabene kader PDIP, jika seluruh ormas harus berasaskan Pancasila, sangat mungkin memiliki keterkaitan dengan pernyataan Menhan.
Terlepas apakah imbauan sumpah setia kepada Pancasila merupakan rencana yang sudah digodok sejak lama --setidaknya dalam 5 tahun terakhir, ataukah murni sebagai reaksi atas munculnya sinyalemen adanya ASN dan prajurit TNI yang terpapar paham radikalisme-- yang disebut Menhan mencapai 3 persen, wacana ini harus mendapat perhatian serius para penggiat demokrasi dan HAM karena berpotensi melegalkan cara-cara "represif".
Pertanyaan paling mendasar, apakah ASN atau prajurit TNI yang menolak sumpah setia kepada Pancasila akan dikenai sanksi, semisal skorsing, penurunan pangkat hingga pemecatan?
Apakah ada jaminan ASN atau prajurit TNI yang sudah menandatangani sumpah setia kepada Pancasila bebas dari paham radikal? Siapa yang berhak menilai dan apa sanksinya?
Lebih dari itu, ada kekhawatiran imbauan sumpah setia kepada Pancasila itu hanya test case. Jika saat ini hanya diterapkan bagi ASN dan prajurit TNI, siapa yang bisa menjamin kelak- jika dianggap berhasil, tidak digunakan untuk "menjangkau" seluruh lapisan masyarakat seperti di masa Orde Baru?
Jika sampai demikian, maka kita akan kembali pada perdebatan lama di awal 80-an ketika rezim Orde Baru memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal kepada seluruh organisasi baik politik maupun kemasyarakatan (ormas).
Penolakan terhadap kebijakan itu diwujudkan dengan munculnya "kampung-kampung Islam" seperti di Tanjung Priok dan Talangsari Lampung yang kemudian berakhir menjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Peritiwa Tanjung Priok terjadi 12 September 1984, sedang tragedi Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989. Kedua peristiwa tersebut erat terkait dengan aksi penolakan terhadap asas tunggal Pancasila.