Hasil quick count sejumlah lembaga, menempatkan PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu 2019. Jika tidak ada gejolak politik di DPR, seperti 2014, maka posisi ketua DPR menjadi hak PDIP. Lalu siapa tokoh akan didaulat menduduki jabatan tertinggi di lembaga legislatif tersebut?
Seperti diketahui, sebelum Pemilu 2014, posisi ketua DPR menjadi hak partai pemeneng pemilu. Situasi berubah ketika sejumlah fraksi di DPR sepakat mengubah ketentuan itu melalui UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) di mana pimpinan DPR dipilih melalui musyawarah dan voting. PDIP pun trepental karena kalah dalam pemungutan suara.
Setelah polarisasi kekuatan politik yang mempertemukan Koalisi Merah Putih (KMP) yang digawangi Gerindra, Golkar, PKS, PAN dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori PDI Perjuangan, PKB, Nasdem, Hanura, bubar, UU MD3 mengalami revisi. Salah satu poin terpenting dari revisi tersebut adalah masuknya perwakilan PDIP di jajaran pimpinan DPR.
Melihat peta kekuatan saat ini di mana kubu PDIP yang disokong PKB, PPP, Nasdem dan Golkar memiliki suara lebih besar dari kubu Gerindra dan PKS, sementara Demokrat dan PAN kemungkinan akan memilih netral, sangat mungkin UU MD3 akan kembali direvisi dengan agenda utama mengembalikan posisi ketua DPR kepada partai pemenang pemilu.
Lalu siapa tokoh yang akan diajukan PDIP untuk menduduki kursi ketua DPR. Meski memiliki banyak pilihan, tetapi bisa dipastikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan memberikan posisi tersebut kepada Puan Maharani yang sudah dipastikan lolos ke Senayan. Megawati tidak membiarkan Puan kembali masuk dalam kabinet karena dua kepentingan.
Pertama, Puan akan diproyeksikan menjadi calon presiden untuk Pilpres 2024 sehingga harus berada di posisi yang mendapat publikasi luas dan bisa dijadikan tolok ukur kemampuannya. Kedua, Puan telah lama disiapkan untuk menggantikan posisi Megawati sebagai ketua umum PDIP. Jika Puan sukses memimpin DPR, tentu suksesi di tubuh PDIP akan lebih mulus lagi.
Jika Puan menjadi ketua DPR dan Joko Widodo dilantik menjadi presiden untuk masa jabatan kedua, ini tentu menjadi prestasi tersendiri bagi PDIP karena kedua kadernya menduduki jabatan tertinggi di eksekutif dan legislatif sekaligus. Arah kebijakaan pemerintah ke depan pun sudah dapat diprediksi karena DPR akan menjadi "tukang stempel" kebijakan pemerintah. Meski kubu opisisi, terutama Gerindra dan PKS tetap akan vokal, tetapi suaranya tidak akan cukup untuk "mewarnai" kebijakan di DPR.
Pertanyaannya, mampukah Puan memimpin DPR? Puan yang saat ini menjabat Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sudah lama berkecimpung di DPR dan sempat memimpin Fraksi PDIP. Aksi Puan yang paling dikenang publik adalah ketika memimpin Fraksi PDIP walk out di tengah alotnya pembahasan kenaikan harga BBM di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Fraksi PDIP kemudian mengeluarkan buku putih penolakan kenaikan harga BBM disertai tangisan yang menyayat.
Namun Puan belum teruji sebagai negoisator ulung- setidaknya itu yang terekam di media. Kegagalan mencegah kenaikan harga BBM di masa SBY dan lepasnya kursi ketua DPR di tahun 2014, adalah bukti kegagalan diplomasi PDIP dalam membangun kekuatan. Kegagalan tersebut tentu tidak bisa dilepas dari peran putri Megawati tersebut.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H