Mencabut izin reklamasi di Pantai Utara Jakarta memang mudah. Hal itu pernah dibuktikan oleh Menko Kemaritiman (saat itu) Rizal Ramli. Sepanjang punya kuasa, maka dia bisa melakukannya. Demikian pula untuk menerbitkannya kembali juga semudah itu. Persoalannya seberapa kuat, seberapa tepat dia melakukannya, terlebih objek yang dicabut menyangkut kepentingan politik dan ajang adu kekuatan sejumlah pihak.
Rizal Ramli adalah contoh seorang pejabat yang gagal mempertahankan kebijakan mencabut izin reklamasi yang "mudah" itu. Rizal Ramli tidak mampu melawan kekuasaan dan kekuatan orang-orang yang "mudah" menerbitkan kebijakan sebaliknya. Kepretan Rizal Ramli terbentur dinding kekuasaan yang lebih tinggi.
Dengan bahasa lain, mencabut izin reklamasi tidak semudah yang dibayangkan. Tidak cukup hanya karena dia punya kuasa. Ada kekuasaan dan mungkin juga kepentingan lain, yang lebih besar.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tahu persis siapa yang kemudian dihadapi ketika mengeluarkan kebijakan mencabut izin reklamasi. Membutuhkan nyali dan siap kehilangan dukungan politik karena oleh pihak yang kontra dan "dirugikan" sangat mungkin melakukan perlawanan balik seperti yang dialami Rizal Ramli. Dalam kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta, secara kasatmata pun, sulit menafikan adanya kelindan pemilik modal dengan pemilik kekuasaan.
Mengapa Anies memilih jalan "gaduh"? Di samping janji politik hasil kristalisasi aspirasi mayoritas masyarakat Jakarta, pelaksanaan reklamasi 17 pulau di Pantai Utara Jakarta juga sudah cacat sejak awal karena tidak sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang dijadikan dasar penerbitan izin reklamasi oleh kubu yang pro.
Salah satu poin terpenting dari Kepres tersebut adalah kewajiban membentuk badan pelaksana. Perjanjian dan pemberian izin reklamasi tidak langsung antara Pemprov DKI atau gubernur dengan pihak pengembang, melainkan antara badan pelaksana dengan pengembang. Ternyata para Gubernur DKI sebelumnya yakni Fauzi Bowo maupun Basuki Tjahaja Purnama langsung menerbitkan izin reklamasi kepada pengembang seperti diuraikan pada tulisan sebelumnya di sini.
Dari rangkaian penerbitan izin hingga pembangunan yang dilakukan di atas 4 pulau reklamasi, semua melanggar aturan. Bahkan pembangunan dilakukan tanpa memenuhi syarat dasar yakni Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bagaimana mungkin mereka akan menggugat Gubernur DKI yang mencabut izin dan menyegel bangunan jika dasarnya terang-benderang?
Kita justru berpikir sebaliknya, jika pengembang sampai menggugat dan menang, jangan-jangan ada kesepakatan lain yang tidak berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H