Harus diakui, Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berhasil mencegah terjadinya polarisasi kekuatan nasionalis dan agama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun kasus Ratna Sarumpaet justru menjadi titik balik jika tidak dikelola dengan baik.
Sulit memungkiri adanya ghirah, bahkan euforia kemenangan secara berlebih di kubu Jokowi setelah terkuaknya kebohongan yang diciptakan Ratna Sarumpaet. Hujatan terhadap Prabowo dan para pendukungnya yang sempat menggunakan "kisah penganiayaan" Ratna Sarumpaet untuk menyudutkan penguasa, sangat berlebihan. Bukan hanya ramai-ramai melaporkan mereka ke polisi, namun juga meminta Bawaslu agar mendiskualifikasi Prabowo --Sandiaga Uno dari ajang Pilpres 2019 seperti dilakukan elemen Garda Nasional Untuk Rakyat yang pro Jokowi.
Langkah kepolisian yang sigap membongkar kebohongan Ratna Sarumpaet patut mendapat apresiasi karena berhasil meredam pihak-pihak yang bernafsu memanfaatkan cerita Ratna untuk tujuan politis. Namun kita dibuat bingung ketika polisi sangat cepat melakukan pemanggilan kepada Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais yang dalam kasus Ratna justru tidak "seaktif" Prabowo yang menggelar konferensi pers, atau bahkan Fadli Zon yang memposting pertemuannya dengan Ratna Sarumpaet dengan wajah bonyoknya.
Terlebih Amien Rais menyebut adanya kejanggalan terkait tanggal pemanggilan yakni 2 Oktober karena, menurut Amien Rais. Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto sebelumnya menyebut pemanggilan dirinya berdasarkan keterangan Ratna Sarumpaet. Kapan Ratna Sarumpaet diperiksa polisi sementara yang bersangkutan baru ditangkap tanggal 4 Oktober? Bahkan pemanggilan terhadap Amien Rais sudah dilakukan sebelum Ratna mengakui kebohongannya dan juga sebelum kepolisian menggelar jumpa pers, 3 Oktober 2018.
Terhadap hal ini Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan pada tanggal 2 Oktober, pihaknya sudah menerima laporan polisi (LP) terkait dugaan hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet. Argo menegaskan surat panggilan ke Amien Rais berdasarkan laporan polisi, bukan penangkapan Ratna di Bandara Soekarno-Hatta.
Kita memahami dan menghargai cara kerja penyidik. Namun konstruksinya memang kurang tepat. Bagaimana mungkin sudah memanggil seseorang atas LP terhadap kasus yang saat itu masih belum jelas. Jika dimaksudkan untuk menghimpun keterangan yang akan dijadikan bahan untuk menentukan status pelaku maka setelah adanya pengakuan Ratna, otomatis kesaksian tersebut tidak diperlukan lagi.
Beda halnya jika Amien Rais dibidik sebagai bagian dari pelaku utamanya. Kita akan menyeru agar Amien Rais mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum sesuai prinsip law enforcement dan kesetaraan di depan hukum.
Karena dari beberapa pernyataan pihak kepolisian belum ada indikasi yang mengarah ke sana, maka timbul pertanyaan mengapa harus Amien Rais? Mengapa bukan Fadli Zon, atau bahkan Prabowo? Apakah pemeriksaan terhadap Amien Rais bagian dari test the water? Sebab Amien Rais memiliki tiga poros kekuatan yakni PAN, Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Muhammadiyah. Artinya "memukul" Amien Rais otomatis langsung mengenai tiga poros tersebut.
Kita tidak menyalahkan tehnik dan kebijakan penyidik, bahkan menghargainya karena mungkin saja ada pertimbangan lain yang belum saatnya diungkap ke publik.
Kita hanya menyayangkan jika pemeriksaan terhadap Amien Rais sekedar untuk memperkuat sangkaan terhadap Ratna Sarumpaet yang sudah terang-benderang. Sementara dampak dari pemeriksaan terhadap Amien Rais sangat mungkin lebih mahal, ibarat membuka kotak pandora karena berpotensi menciptakan kegaduhan dan meningkatnya suhu politik, bahkan kembali menguatkan polarisasi kubu nasionalis dan agama.
Kita paham penegakan hukum tidak perlu dicampuradukkan dengan hal-hal di luar hukum, apalagi politik. Tetapi kita juga punya pengalaman sejumlah kasus yang akhirnya dideponir atas perintah (by order) eksekutif seperti dalam kasus cicak versus buaya beberapa tahun lalu karena menciptakan kegaduhan.