Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Dollar Sudah Rp 15 Ribu, Saatnya Pemerintah Mencabut Subsidi BBM

Diperbarui: 6 September 2018   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petugas bank menunjukkan dollar dan rupiah. Foto: tribunnews.com

Kritik pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sudah lama disuarakan. Selama ini pemerintah berdalih fondasi ekonomi cukup kuat sehingga depresiasi terhadap rupiah dianggap bukan persoalan serius. Kini ketika akhirnya nilai tukar dollar bertengger di angka Rp 15.029 alias level terendah sejak krisis moneter 1998, pemerintah sibuk mencari dalih.

Kita masih percaya pemerintah bisa mengatasinya. Tetapi hasil rapat terbatas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tim ekonominya termasuk Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, masih kurang greget.

Keputusan rapat terbatas tersebut, seperti disampaikan Jusuf Kalla (JK) adalah menggelontor pasar uang dengan cadangan devisi (cadev). Padahal selama ini hal itu sudah dilakukan. Bahkan dalam rentang enam bulan terakhir cadangan devisi tergerus lebih dari US$ 13 milyar dari US$ 131,98 milyar di akhir Januari 2018, menjadi tinggal US$ 118,3 milyar di bulan Juli 2018. Untuk bulan Agustus jumlahnya diperkirakan sudah kurang dari itu.

Pengeluaran terbesar digunakan untuk menahan laju penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Menurut Darmin Nasution, fungsi cadangan devisi memang untuk menstabilkan rupiah saat sedang depresiasi sehingga penurunan cadangan devisi bukanlah bencana.

Kita tidak hendak membantah pendapat Darmin. Kita hanya ingin mengkritisi sampai kapan gelontoran cadangan devisi mampu menahan depresiasi rupiah? Jangan lupakan juga fungsi lain cadangan devisi yakni untuk membiayai impor dan membayar utang pemerintah. 

Benar, dengan cadangan devisi US$ 118,3 miliar masih cukup untuk pembiayaan 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan masih di atas standar kecukupan internasional yang dipatok 3 bulan impor.

Persoalannya, gelontoran cadangan devisi selama enam bulan terakhir seperti menggarami laut, hilang begitu saja. Bahkan menurut Perry Warjiyo sejak Kamis (30/8) hingga hari Selasa (4/9) BI telah mengeluarkan Rp 11,9 triliun untuk menahan lajut depresiasi rupiah baik di pasar valuta asing maupun membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Nyatanya, rupiah terus tertekan hingga sekarang berada di kisaran Rp 15.000 per dollar Amerika.

Demikian juga dengan pernyataan Presiden dan Menteri Keuangan yang selalu menggunakan persoalan eksternal sebagai penyebabnya. Jika sebelumnya menggunakan alasan perang dagang antara China dengan Amerika, kini ditambah dengan krisis di Turki dan Argentina. 

Andai benar demikian, pemerintah harus berani mengakui kalau fondasi ekonomi kita sangat rentan terhadap isu eksternal. Rontoknya mata uang sejumlah negara lain di Asia, tidak bisa dijadikan pembenar rontoknya rupiah bukan karena persoalan fondasi ekonomi yang lemah. 

Faktanya rupiah terkapar, bahkan terhadap ringgit Malaysia, dollar Singapura maupun Australia!

Imbauan JK agar masyarakat berhemat, turut memperparah situasi. Masyarakat mana yang disuruh berhemat? Tanpa diimbau pun, dalam kondisi seperti sekarang ini, mayoritas masyarakat sudah ekstra ngirit. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline