Peluang mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menjadi peserta kontestasi Pilpres 2019 nyaris tertutup. Kepastian Partai Demokrat mendukung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto seakan menghabisi asa kemungkinan terbentuknya poros ketiga yang bisa digunakan sebagai kendaraan.
Manuver para petinggi partai politik pemilik kursi di DPR dalam seminggu terakhir kian memantapkan posisi Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sehingga rematch keduanya di Pilpres 2019 tidak terhindarkan. Jokowi didukung PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura dengan kekuatan 337 kursi DPR plus PKPI sehingga setara 62,16 persen suara nasional, sedang kubu Prabowo menguasai 223 kursi DPR gabung Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS alias 36,38 persen suara nasional hasil Pemilu 2014.
PBB yang tidak punya kursi di DPR namun memiliki suara 1,46 persen belum menentukan sikap. Tetapi jika menyimak kekecewaaan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra karena namanya tidak masuk bursa capres dalam rekomendasi ijtima GNPF Ulama, kemungkinan partai yang dekat dengan kelompok Masyumi itu memilih netral.
Dengan demikian nyaris tidak ada peluang untuk terbentuknya poros alternatif. Padahal harapan terbesar Gatot ada pada Demokrat dan PAN ditambah satu partai dari kubu Jokowi yakni PKB atau Hanura.
Tetapi deklarasi dukungan PKB ke Jokowi tanpa menyertakan syarat Muhaimin Iskandar sebagai cawapres, ditambah kisruh di tubuh Hanura bisa segera dirdam meski masih menyisakan bara, membuat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY gagal mewujudkan poros ketiga. SBY langsung mengubah manuvernya dengan membawa Demokrat ke kubu Prabowo yang segera diikuti PAN sehingga peluang Gatot pun sirna.
Lalu apa kata Jenderal Gatot? Tidak disangka, ternyata jenderal asal Tegal dan berdarah Cilacap itu, belum mau menyerah. Menurutnya, sebelum pendaftaran di KPU tanggal 5- 10 Agustus 2018, semua kemungkinan masih terbuka lebar. Terlebih, kata Gatot, sampai saat ini baik Jokowi maupun Prabowo belum mengumumkan cawapres.
"Peta politik menuju pilpres masih bisa berubah," tegas jenderal yang saat menjabat Panglima TNI sempat menahan senjata jenis SAGL yang impor Polri karena dianggap bisa menghancurkan tank militer.
Bukan hanya Gatot, relawannya juga masih optimis. Presidium Nasional Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR), Relawan Jaringan Nasional Garda Depan (Jagad) serta Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN) masih terus bergerilya mencari dukungan.
Mengapa Gatot Nurmatyo tidak mendapat tempat, bahkan tidak direkomendasikan GNPF Ulama padahal dikenal relijius dan sempat dijuluki sebagai jenderal penjaga wudhu oleh pengasuh ponpes Az-Zikra KH Muhammad Arifin Ilham?
Salah satu penyebabnya tentu karena elektabilitas Gatot yang rendah. Dalam survei-survei 6 bulan terakhir, elektabilitas Gatot jauh di bawah Jokowi maupun Prabowo. Jika pun diposisikan sebagai cawapres, elektabilitasnya masih di bawah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Anies Baswedan. Jika disimpulkan secara keseluruhan, elektabilitas Gatot masih nol koma.
Penyebab lain tentu karena dua kandidat kubu oposisi juga berlatarbelakang militer yakni Prabowo dan AHY. Sementara di kubu Jokowi, juga ada Moeldoko, senior Gatot, yang secara kinerja lebih dekat dengan Jokowi karena saat ini mengepalai Kantor Staf Presiden.