Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mewacanakan pengesahan APBD cukup melalui kepala daerah tanpa perlu ada pembahasan dengan DPRD untuk menghindari lobi-lobi yang berujung pada korupsi. Bukan saja tidak elok, wacana itu bisa meruntuhkan bangunan demokrasi. Mengapa Mendagri bisa sedemikian gelap pikir?
Kasus korupsi berjamaah yang melibatkan anggota DPR dengan eksekutif, bukan cerita baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali berhasil membongkar persekongkolan jahat itu mulai dari Provinsi Sumatera Utara, Jambi hingga Kabupaten Kebumen dan Kota Malang. Disinyalir korupsi terkait pembahasan APBD masih terjadi daerah-daerah lain.
Korupsi antara DPRD dengan eksekutif biasanya diawali dari pembahasan anggaran yang condong untuk kepentingan eksekutif. Contoh, menjelang pemilihan kepala daerah yang diikuti petahana, kepala daerah bersangkutan ingin menambah anggaran untuk bantuan sosial. Jika disetujui, kepala daerah akan mendapat "manfaat" karena bisa bagi-bagi duit ke tim suksesnya yang disamarkan melalui bantuan sosial. DPRD yang mengetahui rencana itu kemudian meminta bagian.
Polanya bisa macam-macam. Tetapi secara umum, deadlock pembahasan APBD terjadi karena eksekutif meminta anggaran di luar kebiasaan. Dari sini mulai muncul lobi-lobi yang inisiatifnya sangat mungkin dari eksekutif karena berharap keinginannya setujui DPRD.
Oleh karenanya, pernyataan Tjahjo yang mendorong pengesahan APBD menggunakan peraturan kepala daerah untuk menghindari lobi-lobi atau tekanann DPRD dengan tujuan meminta uang persetujuan, jelas tidak tepat. Bukan saja akan memposisikan kepala daerah lebih "tinggi" dibanding legislatif, tetapi seperti mengingkari fakta bahwa banyak korupsi yang terjadi antara DPRD dan eksekutif diinisiasi oleh kepala daerah.
Pengesahan APBD melalui Pergub, Perbub maupun Perwali bukan barang haram. Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, sudah memberi pintu darurat kala pembahasan APBD mandek yakni di pasal 20 Ayat (6). Tetapi ada beberapa kelemahan jika APBD disahkan dengan keputusan kepala daerah.
Pertama, pagu anggaran maksimal sama dengan pagu anggaran sebelumnya. Dampaknya banyak proyek baru yang sangat mungkin darurat tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Kedua, lazimnya pendapatan daerah meningkat setiap tahun yang tercermin dari pagu APBD dari ttahun ke tahun. Jika APBD tahun berikutnya menggunakan pagu anggaran sebelumnya, otomatis akan ada uang nganggur di kas daerah.
Ketiga, dana bagi hasil, dana perimbangan maupun dana alokasi khusus, dari pusat menjadi terkendala karena prioritas penggunaannya yang sebelumnya sudah dibahas antara pusat dan daerah, tidak dapat terlaksana.
Sebagai contoh, daerah mengajukan anggaran khusus untuk rehabilitasi kawasan pesisir dan disetujui oleh pusat. Namun setelah dana turun, ternyata proyek tersebut tidak bisa dilaksanakan karena jika dimasukkan dalam APBD yang disahkan melalui keputusan kepala daerah, akan melebihi pagu anggaran sebelumnya.
Kasus pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta di masa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bisa dijadikan contohnya. Saat itu, DPRD tidak mau membahas rancangan APBD yang diajukan Gubernur Ahok karena adanya ketegangan politik dan juga komentar-komentar Ahok yang terkesan merendahkan anggota DPRD.
Salah satunya adalah catatan tangan Ahok sangat mengoreksi anggaran yang diminta DPRD dengan kata-kata "gila" dan "nenek lu". APBD DKI Jakarta 2015 akhirnya disahkan dengan menggunakan Pergub. Akibatnya RAPBD 2015 yang semula diplot Rp 73,08 triliun kembali ke angka Rp 72,9 triliun sesuai pagu APBD 2014. Sedikitnya ada potensi pendapatan sebesar Rp 180 miliar yang tidak dapat digunakan alias mengendap di kas daerah.