Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Ketika Tirai Toleransi di Warung Makan Digugat

Diperbarui: 26 Mei 2018   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber: republika.co

Tulisan yang mengulik tentang tirai penutup- ada juga yang menyebut kelambu, warung makan yang buka siang hari di bulan Ramadhan, membanjiri Kompasiana selama sehari kemarin. Rerata, tidak semua, tulisan itu menggugat keberadaan kelambu sambil mempertanyakan kadar keimanan yang menjalani puasa dan berharap tahun depan tidak ada lagi warung bertirai.

Adalah pemahaman yang salah ketika menganggap pemberian tirai pada warung yang buka siang hari di bulan Ramadhan sebagai bentuk pemaksaan kehendak umat Muslim dengan tujuan agar keberadaannya tidak mengganggu orang-orang yang tengah berpuasa. Sebab dari pemahaman ini lantas muncul kesimpulan seolah umat Muslim yang berpuasa sangat arogan, lemah imannya dan kekanak-kanakkan.

Mari kita lihat permasalahannya secara komprehesif, tidak memandang dari permukaan lantas mengambil kesimpulan yang berpotensi menyakiti pihak-pihak yang tengah berpuasa sehingga akan muncul "dendam" dan kelak tumpah pada momen lain.

Keberadaan warung bertirai saat bulan puasa sudah ada sejak dahulu, khususnya daerah-daerah yang mayoritas Muslim. Di era 80-an penulis- kala itu masih remaja, justru merasa aneh ketika makan siang di warung saat bulan puasa. Umat Muslim yang karena sebab atau kondrat tidak puasa, juga tidak mungkin akan makan di tempat terbuka. Mereka merasa nyaman dan aman ketika masuk ke warung yang bertirai. Sampai di sini bisa dipahami bahwa warung bertirai juga menjadi kebutuhan pelanggannya.

Namun setelah reformasi, muncul kelompok-kelompok puritan yang "berjuang" mengatasnamakan agama. Bukan hanya Islam, namun juga agama lain. Sebagai bukti, munculnya partai-partai berbasis agama. Euforia ini bisa dipahami mengingat di masa Orde Baru keberadaan organisasi, termasuk partai politik, sangat dibatasi. Setelah huru-hara politik, dan Pam Swakarsa tidak dibutuhkan lagi, muncul organsiasi massa Islam bernama Front Pembela Islam (FPI). 

Dalam upaya menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, anggota FPI seringkali menabrak aturan. Salah satu yang paling membekas adalah merazia (sweeping) warung makan yang tetap buka di bulan puasa sementara perda tidak melarangnya.

Dalam perkembangannya, ketika ghirah keagamaan (Islam) kian membuncah, beberapa kepala daerah mengakomodir aspirasi yang berkembang dengan membuat perda intoleran. Namun jumlahnya sangat sedikit. Kasus Serang adalah contohnya. Namun harus juga dipahami, ghirah keagamaan tidak hanya ada di Islam. Ada juga daerah yang membatasi jam jualan pedagang di hari tertentu agar jamaahnya pergi ke tempat ibadah dan aktifitas jual-beli tidak mengganggu ibadahnya.

Dengan memetakan seperti itu, kita bisa melihat secara jelas, mereka yang menghendaki agar warung makan tutup saat bulan puasa hanya segelintir orang, sementara mayoritas umat Islam tidak mempersoalkan. Ketika mereka yang menolak warung buka siang hari di bulan puasa melakukan sweeping dengan alasan mengganggu orang yang sedang puasa, yang salah bukan umat Islam tapi mereka yang melakukannya dan aparat keamanan yang "membiarkannya" karena adanya kepentingan politik.

Sangat tidak adil manakala secuil persoalan itu dijadikan alas pemahaman bahwa penutupan warung dengan kelambu sebagai bentuk lemahnya iman umat Islam sehingga minta diproteksi kala menjalankan puasa dengan cara merugikan hak orang lain (pemilik warung). Pemahamann yang sangat salah dan berpotensi menyemai bibit kebencian baru dari mereka yang selama ini tidak termasuk dalam kelompok puritan, karena agamanya dilecehkan, karena keimanannya dijadikan bahan olok-olokkan.

Keberadaan warung makan bertirai, di samping kebutuhan pelanggannya, juga wujud toleransi yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Para pemilik warung makan itu ingin tetap usaha di bulan puasa, namun juga ingin menghargai orang-orang yang tengah berpuasa. Bahwa ada satu-dua pemilik warung makan yang merasa "tersiksa", merasa haknya dikebiri, mari kita tanyakan jiwa Pancasila-nya. 

Mari kita tanyakan sikap tolerannya yang merupakan kewajiban sesuai Sila Pertama Pancasila untuk mewujudkan tercapainya Sila Ketiga: Persatuan Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline