Kengototan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan terpidana korupsi menjadi calon anggora legisltif (caleg) hanya buang-buang waktu. Sebab undang-undangnya sudah jelas memperbolehkan dengan beberapa syarat. Mengapa KPU mempersulit hal yang sebenarnya mudah?
Saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR, KPU menyebut tengah menyiapkan peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi mengikuti kontestasi Pemilu 2019. Hal itu langsung ditolak oleh Komisi II DPR, Bawaslu dan Kemendagri selaku perwakilan pemerintah. Namun KPU tetap pada keputusannya. Namun Komisioner KPU Viryan Aziz menyebut pihaknya akan tetap menerbitkan PKPU dengan alasan untuk menciptakan penyelenggaran negara yang bersih.
Niat KPU jelas sangat mulia dan sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika mantan koruptor dilarang mengikuti kontestasi elektoral, tentu menimbulkan efek jera yang luar biasa. Larangan tersebut sama saja dengan hukuman mati karena setiap politisi tentu memiliki orientasi pada kekuasaan.
Tetapi KPU lupa satu hal. Penyelenggara negara harus patuh dan taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak boleh membuat kebijakan---sekali pun bertujuan sangat mulia, dengan cara menabrak undang-undang. Terlebih jika akibatnya merugikan hak konstitusinal warga negara. Sebagai penyelenggara, KPU hanya perlu memastikan hajat demokrasi 5 tahunan itu dilaksanakan dengan baik, jujur, adil dan transparan. Memastikan setiap warga negara dapat menyalurkan hak politiknya dan setiap peserta kontestasi mendapat perlakuan yang sama, jauh lebih berguna daripada membuat aturan yang bakal mengundang perdebatan dan gugatan pengadilan.
Sedikitnya ada dua pelanggaran yang dilakukan KPU jika tetap nekad mengeluarkan PKPU. Pertama, melanggar hak konstitusional para mantan napi koruptor, dengan pengecualian bagi napi yang hak politiknya memang sudah dicabut pengadilan. Mereka sudah menjalani hukuman yang diputuskan pengadilan sehingga tidak tepat kembali menghukumnya tanpa proses peradilan. Melarang menggunakan hak konsitusional untuk dipilih dalam kontestasi elektoral adalah bentuk hukuman sementara KPU bukan lembaga yang diberi kewenangan untuk menghukum seseorang atas alasan apapun.
Kedua, UU Nomor 7Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 240 ayat 1 huruf (g) tegas menyebut mantan narapidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih bisa menjadi peserta kontestasi elektoral dengan syarat mengakui secara terbuka dirinya mantan narapidana dan bukan pelaku kriminal berulang-ulang. Jika tidak mau mengakui dirinya mantan narapidana, maka mantan narapidana tersebut harus menunggu 5 tahun setelah masa pembebasannya. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh mantan narapidana, tanpa terkecuali.
Larangan mantan koruptor nyaleg juga berpotensi melanggar putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah menghapus Pasal 7 huruf (g) UU Nomor 8 Tahun 2015 yang kemudian dijadikan dasar pasal 240 UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam putusannya MK menyebut pelanggaran terhadap mantan narapidana mengikuti kontestasi politik melanggar UUD 1945. Artinya, secara UU, pelarangan nyaleg bagi mantan koruptor jelas bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945.
KPU tidak perlu masuk ke wilayah terlalu jauh di luar domainnya. Sebab hanya akan membuat gaduh sementara pendaftaran bagi caleg sudah dekat yakni mulai 4-17 Juli 2018. KPU cukup melaksanakan tahapan dan ketentuan Pemilu sesuai UU. Penafsiran yang dilakukan terhadap pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, tidak boleh keluar dari substansinya.
Terkait mantan napi koruptor, KPU bisa membuat peraturan mengenai teknis "mengakui secara terbuka dirinya mantan narapidana". Bikin aturan yang berat semisal harus mencantumkan pengakuan tersebut dalam setiap momen kampanye, termasuk baliho, pamflet dan alat peraga lainnya.
Lalu bagaimana agar para penjarah uang rakyat tidak bisa kembali ke ruang publik, menduduki jabatan-jabatan politik sebagai penyelenggara negara? Adanya putusan MK jelas tidak memungkinkan DPR dan pemerintah membuat UU yang isinya bertentangan. Tetapi KPK dapat melakukannya dengan memasukkan tuntutan pencabutan hak politik terhadap setiap terdakwa korupsi. Masyarakat juga bisa mendorong agar para hakim memutus sesuai tuntutan itu, tanpa melihat berapa nilai yang dikorupsi dan berapa lama hukumannya.
Masyarakat juga bisa berperan langsung dengan tidak memilih para koruptor. Edukasi terhadap calon pemilih bisa menjadi alternatif bagi KPU untuk membatasi kemungkinan keterpilihan para mantan napi. Tetapi pendekatan yang dilakukan harus sesuai dengan kondisi daerahnya. Memberitahu jika koruptor membuat Indonesia tertinggal dari bangsa lain, tidak akan mengubah preferensi calon pemilih. Terlalu tinggi. Tetapi mengatakan jika proses pembuatan e-KTP lama karena ulah koruptor, sangat mungkin akan mengalihkan pilihannya dari mantan koruptor.