Ketika harga beras melambung, semua telunjuk terarah ke Perum Bulog. Hal yang sama terjadi saat harga jatuh. Padahal setelah beralih status, dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum), Bulog menjalankan dua peran sekaligus yakni public service obligation dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan dan mencari untung (profit) untuk membiayai roda perusahaan. Benarkah pembentukan Badan Pengan Nasional menjadi solusi untuk mengurangi tekanan terhadap Bulog?
Desakan agar pemerintah segera membentuk Badan Pangan Nasional salah satunya disuarakan Komisioner Ombudsman RI, Leli Pelitasari Soebekty. Di samping amanat UU Nomor 18 Tahun 2012, khususnya pasal 126 di mana untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan, perlu dibentuk sebuah lembaga yang langsung berada di bawah Presiden, pembentukan badan pangan merupakan solusi untuk sinkronisasi kebijakan antar kementerian yang berkaitan dengan sektor pangan sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap Bulog.
Leli mencontohkan kebijakan mengganti pemberian beras sejahtera (rastra) atau yang selama ini dikenal dengan sebutan beras untuk rakyat miskin (raskin) dengan voucher pangan di bawah koordinasi Kementerian Sosial. Ironinya, Bulog tetap diwajibkan membeli gabah petani dalam rangka stabilisasi harga. Padahal kebijakan mengganti raskin dengan uang memberikan tekanan terhadap harga beras karena 10 juta warga miskin yang tadinya menerima raskin, kini membeli beras ke pasar.
Selain persoalan di atas, Badan Pangan Nasional memang sudah harus dibentuk mengingat carut-marutnya data pangan nasional yang antara lain disebabkan karena ego sektoral. Kondisi ini terlihat jelas saat pemerintah hendak menentukan jumlah impor bahan pangan seperti beras, kedelai, daging, hingga garam. Perbedaan data yang dimiliki Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik, menjadi perdebatan nyaris tanpa akhir sehingga kebijakan tidak bisa segera diputuskan.
Badan pangan juga solusi untuk menjaga stabilitas harga sesuai yang diinginkan pemerintah karena memiliki kewenangan dari hulu sampai hilir. Hal ini berbeda dengan Bulog yang hanya difungsikan untuk menjaga harga pangan sesuai kebijakan pemerintah tanpa kewenangan "mengatur" departemen terkait dan juga modal untuk menyerap hasil panen petani. Keberadaan badan pangan akan sedikit mengurangi tekanan terhadap Bulog, sehingga lembaga yang kini dipimpin Budi Waseso ini dapat lebih leluasa mengembangkan fungsi korporasi dan pemberdayaan masyarakat di sektor pangan.
Inovasi Bisnis
Meski di bawah tekanan berbagai pihak dan harus menjalankan dua fungsi sekaligus, tidak membuat direksi Bulog menyerah. Dalam beberapa tahun terakhir, Bulog tetap mampu menyerap beras petani sehingga harganya tidak jatuh meski tengah panen raya. Sebuah prestasi yang tidak bisa dianggap enteng karena untuk melaksanakan fungsi tersebut Bulog menggunakan uang pinjaman dari bank dengan bunga komersial.
Sementara terkait fungsi mencari untung untuk menghidupi roda perusahaan, jajaran Bulog sudah melakukan berbagai terobosan, terutama pembentukan unit usaha. Saat ini Bulog sudah memiliki hotel, restoran dan kafe dengan memanfaatkan aset Bulog yang semula dikelola pihak lain. Di bidang transportasi, Bulog pun sudah memiliki ratusan armada "moncong putih" di bawah naungan anak usahanya, JPLogistics.
Inovasi bisnis Bulog yang mendapat banyak perhatian, termasuk dari Presiden Joko Widodo, adalah melahirkan sejumlah produk komersial dengan merk "KITA". Saat ini sudah ada Beras Kita, Gula Manis Kita, Terigu Kita, Minyak Goreng Kita, dan Daging Kita. Sementara Bakso Kita juga siap diluncurkan ke pasaran dengan kemasan khas Bulog. Seluruh produk tersebut sudah mendapat izin Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM). Di samping halal, produk Bulog juga memiliiki keunggulan dari sisi rasa dan masa pakai. Minyak Goreng Kita, misalnya, tidak berubah warna meski sudah dipakai untuk menggoreng hingga dua kali.
Program bisnis unggulan lain Bulog adalah Rumah Pangan Kita (RPK). Meskipun merupakan bagian dari program komersial, RPK membawa tiga misi sekaligus yakni untuk melawan mafia pangan, memastikan harga pangan di tingkat eceran sesuai kebijakan pemerintah, dan pemberdayaan masyarakat. Sebab siapa saja bisa mengikuti program ini. Dengan hanya bermodal KTP, tempat seluas garasi, dan modal Rp 5 juta, masyarakat sudah bisa mengikuti program RPK.
"Lokasinya tidak harus di pinggir jalan. Di gang sempit juga tidak masalah. Barang akan didrop langsung ke alamat," ujar Direktur Komersial Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh.