Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Menangkap atau Berdamai dengan Rizieq Shihab, Jokowi?

Diperbarui: 26 April 2018   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri serta peserta Aksi 212 melaksanakan sholat Jumat di Monas. Foto: Antara

Presiden Joko Widodo menggelar manuver terbuka untuk merangkul semua kalangan yang selama ini dipersepsikan berseberangan. Jika demi persatuan nasional Jokowi siap menggandeng Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, bagaimana dengan Habib Rizieq Shihab? Maukah Istana berdamai dengan syarat  melepas Rizieq dari sangkaan hukum yang menjeratnya?

Dalam beberapa hari ini, publik yang mengikuti perkembangan politik tanah air, dikejutkan dengan sejumlah pernyataan terbuka Presiden Jokowi. Setelah mendengungkan dirinya menawarkan posisi cawapres kepada Prabowo Subianto, baik secara langsung maupun mengutus sejumlah orang dekatnya, termasuk Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Jokowi pun menyebut sudah menemui petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk membahas Pilpres 2019. Dan pada saat bersamaan, beredar foto kunjungan politisi PDIP Erwin Moeslimin Singajuru ke kediaman Habib Rizieq di Mekah Arab Saudi, disusul foto pertemuan Jokowi dengan pentolan Persaudaraan Alumni (PA) 212 di Istana Bogor.

Rangkaian peristiwa politik tersebut sepertinya sengaja diekspos kubu Jokowi. Sulit memahami ada wartawan di Amerika Serikat (AS) bisa mengetahui Prabowo menelpon Luhut yang saat itu tengah berada di AS, jika tidak "sengaja" diberitahu. Kegusaran Tim II PA 212 yang menemui Jokowi atas bocornya foto pertemuan di Istana Bogor yang disebutnya berlangsung tertutup dan seluruh alat komunikasi disita pengawal Presiden, juga bisa menjadi pintu masuk pihak mana yang menghendaki pertemuan tersebut diketahui publik.

Ada beberapa kemungkinan mengapa Jokowi melakukan manuver politik secara terbuka. Pertama, sebagai test the water. Bukan terkait elektabilitas, melainkan reaksi kubu lawan secara umum, tidak terbatas pada elitenya. Kedua, mematahkan anggapan Jokowi tidak mengakomodir kelompok tertentu yang dianggap berseberangan, terutama yang bersinggungan dengan Rizieq Shihab. Hal ini menjadi penting dalam rangka mewujudkan persatuan nasional seperti yang diinginkan Jokowi. Ketiga, memecah konsentrasi lawan yang tengah mendengungkan #2019GantiPresiden. Gimmick Prabowo sebagai cawapres dan dibeberkannya pertemuan dengan PKS, adalah dasar argumennya. 

Jokowi tidak peduli jika pertemuan-pertemuan tersebut tidak membuahkan dukungan karena memang bukan itu tujuannya. Jika tidak ada isu kuat, dan tidak salah mengambil cawapres, Jokowi tidak perlu berkeringat untuk mempertahankan kekuasaannya. Prabowo, Gatot Nurmantyo, terlebih Agus Harimurti Yudhoyono membutuhkan dukungan isu-isu dramatis di luar yang sudah beredar selama ini, untuk bisa menggantikan posisi Jokowi.  

Akankah manuver Jokowi hanya sampai di situ?

Ini yang menarik, sebab untuk mencapai persatuan seperti yang diinginkan, Jokowi tidak bisa mengabaikan posisi Habib Rizieq. Imam besar FPI itu sudah menjadi tokoh nonpartai yang menjadi rujukkan sejumlah pihak. Meski kekuatan massa yang dimiliki belum bisa diprediksi, karena Aksi 212 tidak murni faktor ketokohannya, Rizieq tetap salah satu tokoh yang harus diperhitungkan dalam konteks persatuan nasional. Sebab lain, meminjam istilah Erwin Singajuru, suka atau tidak suka banyak yang menitipkan aspirasi politiknya ke Rizieq Shihab.

Persoalan bagi Istana adalah, merangkul Rizieq Shihab berarti harus mengesampingkan proses hukum terkait dugaan sejumlah kasus yang menjeratnya. Hal ini juga sejalan dengan tuntutan Tim 11 PA 212. Meski penegakan hukum bukan domain Presiden, tetapi kubu Rizieq sangat meyakini "kriminalisasi" terhadap ulama terkait dengan kebijakan pemerintahan Jokowi dan PDIP. 

Mereka juga beranggapan, sebagai kepala negara, Presiden memiliki kewenangan untuk memerintahkan Kapolri menghentikan proses hukum yang disangkakan kepada sejumlah ulama. Artinya, Jokowi tidak bisa berkelit di balik argumen bahwa Presiden dilarang mencampuri proses penegakan hukum. Kubu Rizieq tidak akan mempercayainya.

Sementara di sisi lain, penghentian proses hukum di luar koridor, juga bisa menjadi bumerang. Meski mungkin tidak berpengaruh terhadap elektabilitasnya, namun sulit untuk menutupi kekecewaan pendukungnya.

Lalu langkah apa yang terbaik untuk memecahkan dilema ini? Sikap berikut Jokowi akan menjawab apakah manuver seperti yang dibeber di atas benar-benar demi persatuan atau hanya kepentingan politik sesaat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline