Rapat harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar menghasilkan rekomendasi mengejutkan. Mereka meminta agar Ketua Umum Setya Novanto mundur dengan menunjuk pelaksana tugas ketua umum.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham yang biasanya tampil ngotot membela Setya Novanto, mendadak layu. Bersama Ketua Harian Nurdin Halid, Idrus berjanji akan menyampaikan surat "keputusan" pengurus inti Golkar tersebut kepada Novanto. Idrus paham betul, tidak ada opsi bagi Novanto selain mengiyakan. Pertaruhannya terlalu berat manakala ditolak karena pasti akan menimbulkan friksi internal. Dengan menunjuk Plt, meski berarti kehilangan kontrol, namun Setya Novanto masih memiliki sedikit kekuatan dan kelak bisa mengambil-alih kembali kendali manakala situasi politik di internal partai sudah dingin.
Perubahan sikap sebagian besar pengurus Golkar tidak terlepas dari intrik politik paska keluarnya surat keputusan mendukung Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jawa Barat. Meski Idrus telah membantah terlibat, tetapi keluarnya SK bodong itu terlanjur mematik sikap antipati kader-kader Golkar, terutama di Jabar, terhadap DPP. Mereka menuding SK bodong tersebut bagian dari manuver- test the water, loyalis Novanto. Mereka mencium aroma politik transaksional yang ditandai dengan tidak segera dikeluarkannya SK dukungan kepada Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi sebagai cagub.
Kecurigaan kader di daerah bukan tanpa alasan. Jika Nasdem berani memberikan garansi "pembebasan" dari jerat hukum KPK, bukan hal yang sulit bagi Setya Novanto melabuhkan Golkar ke kubu Ridwan Kamil. Setya Novanto membutuhkan Nasdem, sementara Nasdem juga membutuhkan suara Golkar karena perahu yang disiapkan untuk Ridwan Kamil belum utuh. Bahkan Wali Kota Bandung itu terancam gagal nyagub jika tidak mendapat dukungan partai lain. Ridwan Kamil masih membutuhkan dukungan 8 kursi untuk menggenapI dukungan Nadem (5 kursi ) dan PKB (7 kursi). Tentu Nasdem, juga Ridwan Kamil, mau melakukan apapun asal Golkar yang memiliki 17 kursi di DPRD Jabar bersedia memberikan dukungan.
Hal itu yang dikuatirkan kader-kader Golkar di Jabar. Mereka tidak ingin Golkar dijadikan alat untuk kepentingan pribadi Setya Novanto. Apalagi dukungan untuk Dedi Mulyadi, yang juga Bupati Purwakarta, sudah melalui mekanisme partai dan mendapat didukung penuh seluruh pengurus serta kader Golkar di Jabar. Bahkan PDIP sudah menyatakan tertarik untuk ikut mendukung Dedi Mulyadi yang memiliki elektabilitas tinggi sehingga tidak ada alasan bagi DPP untuk mengalihkan dukungan pada calon lain, terlebih calon tersebut bukan kader Golkar.
Desakan mundur diperhalus dengan penunjukkan Plt ketua umum, juga bisa diartikan sebagai sikap pesimis kader-kader Golkar terhadap proses praperadilan yang diajukan Setya Novanto. Mereka meyakini PN Jakarta Selatan akan menolak gugatan praperadilan tersebut sehingga Novanto harus menjalani proses hukum di KPK sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Mahar Rp 10 Miliar
Perubahan sikap Idrus Marham, juga Nurdin Halid memicu spekulasi yang lebih luas. Saat menyampaikan orasi politik di depan massa Golkar di Kantor DPD Golkar Jabar, Bandung, Dedi Mulyadi menyampaikan ada tokoh misterius yang meminta mahar Rp 10 miliar sebagai syarat keluarnya rekomendasi dukungan DPP Partai Golkar. Meski berkali-kali Dedi menegaskan tokoh yang menghubungi bukan pengurus Golkar, melainkan seseorang yang merasa dekat dengan pengurus DPP Golkar, namun sempat beredar rumor tokoh yang meminta mahar tersebut memiliki kedekatan khusus dengan pengurus inti di DPP. Tokoh ini bahkan mengingatkan kader Golkar pada sosok Andi Narogong, teman dekat Setya Novanto, yang kini sudah ditahan KPK dalam kasus korupsi e-KTP.
Isu permintaan mahar ini juga yang kemudian memicu kemarahan kader-kader Gollkar di Jabar. Mereka ramai-ramai mengembalikan kartu tanda anggota dan mengadakan iuran recehan untuk diserahkan ke DPP sebagai bentuk protes.
Akankah ini akhir kejatuhan Setya Novanto? Masih terlalu gegabah menyimpulkan demikian. Tetapi yang pasti arah politik Golkar ke depan tidak menguntungkan Istana, kecuali PDIP benar-benar mau memberikan dukungan kepada Dedi Mulyadi.
Salam @yb