Anak-anak dan remaja di Jawa, khususnya Tengah dan Timur, yang hidup di tahun 70-an pasti akrab dengan tokoh-tokoh pewayangan. Meski mungkin tidak pernah menonton sampai tuntas, tetapi mereka mengakrabinya karena hampir semua sendi kehidupan, dari permainan, dongeng yang dituturkan ayah hingga pelajaran di sekolah tidak jauh-jauh dari cerita pewayangan. Bisa dipahami jika akhirnya anak-anak dan remaja di masa itu mengagumi sosok Pandawa 5, terutama Bimasena alias Werkudara.
Di awal 80-an hingga awal 90-an ketika film-film Hollywood mulai menyerbu hingga ke rumah-rumah melalui piringan hitam, tokoh Rambo menggantikan Werkudara. Heroisme tokoh fiksi Amerika itu lebih nyata dan hidup- dalam arti sesungguhnya. Presiden Soeharto menangkap peluang itu. Pola doktrinasi, bahkan agitasi melalui wayang dan pertunjukkan kesenian rakyat yang sebelumnya sukses dimanipulasi oleh anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, dihancurkan melalui film-film propaganda yang semuanya terpusat pada kehebatan seorang Soeharto. Silahkan saksikan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI, Serangan Fajar (Attack at Dawn), dan Janur Kuning (Serangan Umum 1 Maret 1949).
Apa yang kemudian tertanam dalam benak remaja saat itu? Meski tidak sepengaruh Rambo, namun Soeharto tetap memiliki tempat di hati. Ada yang menganggumi, meski tidak sedikit yang ketakutan. Bayang-bayang banjir darah, menghantui benak dan pikiran rakyat Indonesia. Mereka tidak mau berteman dan bertetangga dengan mantan anggota PKI, apalagi yang KTP-nya dibubuhi tanda khusus "Eks Tapol" atau "Eks Napol". Mereka lebih hina dibandingkan binatang. Dalam perkembangannya, label PKI disematkan kepada siapa saja yang menentang rezim Orde Baru, sekali pun sebelumnya orang itu pernah berada di garda terdepan dalam menumpas orang-orang yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI.
Setelah Soeharto tumbang tahun 1998, film propaganda Orde Baru, khususnya pengkhianatan G30S/PKI, tidak lagi ditayangkan di TVRI. Menteri Penerangan (saat itu) Yunus Yosfiah memutuskan film tersebut tidak lagi menjadi tontonan wajib yang diputar setiap tanggal 30 September. Alasannya, kontennya berisi kehendak untuk memanipulasi sejarah dengan tujuan mengkultuskan Soeharto. Keputusan Yunus Yozfiah mendapat dukungan penuh tokoh-tokoh reformasi dan disambut gembira oleh masyarakat yang selama puluhan tahun hidup terpasung dalam ketakutan.
Kini film G30S/PKI ditayangkan kembali, bahkan lebih masif karena dilakukan di lapangan desa, di sekolah-sekolah dan kantor-kantor organisasi massa. Dampaknya sudah bisa ditebak. Pertama, ketakutan akan terulangnya sejarah kelam tersebut, mengalahkan isu kebangkitan PKI itu sendiri. Kedua, sikap saling curiga kembali tumbuh di tengah masyarakat. Ketiga, munculnya anggapan Soeharto dan TNI Angkatan Darat, khususnya Kopassus (dulu RPKAD), sebagai pihak paling berjasa pada negeri ini. Sebab film G30S/PKI bukan film sejarah tentang pengkhianatan PKI, bukan tentang pemberontakan PKI, tetapi tentang kehebatan Soeharto dalam menumpas PKI. Sama halnya dengan film Janur Kuning di mana kontennya bukan tentang perang kemerdekaan tetapi ketokohan Soeharto dalam memimpin serangan terhadap Belanda di Yogyakarta.
Jadi, tujuan pemutaran film G30S/PKI sebagai upaya membendung kebangkitan paham komunis di Indonesia, tidak tepat. Menggunakan isu pemberontakan PKI, mendaur-ulang teks lama, untuk tujuan politik kekinian, ibarat menembak dalam gelap. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, pemutaran film ini bukan hanya akan menjadi alat propaganda pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan lawan politiknya, tetapi mendekatkan anak-anak dan remaja kita pada hal-hal berbau komunis. Mereka tidak akan serta merta mengidolakan Soeharto dan membenci PKI layaknya anak-anak era 80-an yang tidak memiliki banyak pilihan selain menerima apa yang didengar dan dilihat. Salah-salah justru anak kita yang menjadi korbannya. Usai menonton film G30S/PKI, sebagian besar anak-anak generasi milenial, generasi yang kritis, ini akan mulai mencaritahu lebih jauh tentang PKI, komunisme dan hal-hal seputar itu. Jika mendapat gambaran yang benar, tentu akan bermanfaat sesuai tujuan sponsornya. Namun bagaimana jika mereka menemukan dan lebih percaya pada "propaganda" sebaliknya?
Bukankah kebenaran seputar peristiwa 1965 masih menjadi perdebatan? Bahkan penulis-penulis sejarah luar negeri yang tidak terkait dengan tokoh-tokoh politik di Indonesia sehingga bisa ditafsirkan tidak memiliki kepentingan politik, juga belum sampai pada kesimpulan yang sama. Ada yang menyebutkan murni pemberontakan oleh PKI yang kebelet berkuasa, adanya keterlibatan CIA karena Amerika ingin menguasai tambang Emas di Papua namun Presiden Soekarno tidak mau memberikan izin hingga friksi antar angkatan di tubuh TNI.
Ayo jawab, siapa yang harus diminta tanggung jawab ketika kemudian anak-anak kita menyanyikan lagu genjer-genjer di kamar mandi, mengiyakan adanya pertentangan kelas yang harus dilawan, menganggap pemilik rumah mewah di sebelah gubuknya sebagai tuan penghisapan darah rakyat, meracuni buruh-buruh pabrik dengan isu perbudakan modern dan isu-isu lain yang menjadi khas propaganda PKI?
Silakan saja film G30S/PKI diputar di tangsi-tangsi militer sebagai bagian dari doktrinisasi kepada para prajurit agar menghargai para seniornya, para pendahulunya. Tetapi tidak untuk diputar di balai desa atau ruang-ruang publik. Terlebih jika disertai surat edaran berisi "kewajiban" untuk nonton bareng. Sebab dampaknya sangat berbahaya. Bukan mustahil mereka yang menolak ikut menonton dengan alasan di luar preferensi politik- semisal karena kontennya terlalu menonjolkan kekerasan atau karena sedang ada tugas kantor, akan ikut mendapat stigma sebagai pihak yang pro kebangkitan PKI. Inikah yang dimaui- yang menjadi tujuan utama, para pengusung bangkai komunis?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H