Tidak perlu ditanyakan atau diperdebatan lagi mengapa DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk menyelidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbuih mulut pun tidak berguna karena Pansus KPK dibentuk bukan untuk mencari materi kebenaran, melainkan arogansi lembaga, tepatnya sekelompok orang yang diberi kewenangan konstitusional. Karena alasan itu juga maka kini kita mempertanyakan kewarasan Pansus KPK.
Banyak sekali logika umum yang telah dijungkirbalikkan dengan keberadaan Pansus Angket KPK. Hal paling utama menyangkut peran dan fungsi DPR yang sama sekali tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Anggota DPR berjalan sendiri di luar logika masyarakat yang geram dengan masifnya praktek korupsi, dan ingin adanya penguatan terhadap KPK karena lembaga lain yang memiliki kewenangan serupa yakni Kejaksaan dan Kepolisian, hanya sibuk bersilat lidah pada tataran normatif.
Legalitas Pansus KPK bukan lagi wilayah yang seksi untuk dibahas. Terlebih saat ini masih dalam pengujian di Mahkamah Konstitusi setelah sebelumnya diajukan oleh sejumlah mahasiswa dan pegawai KPK. MK telah menolak mengeluarkan putusan sela (provisi) sehingga uji materi (judicial review) akan dilanjutkan dan diperkirakan memakan waktu lama, bahkan hingga masa kerja Pansus KPK berakhir pada 28 Septemebr mendatang.
Harus dipahami, selama belum ada putusan MK, maka Pansus KPK di DPR tetap sah karena merupakan hak dan kewenangan DPR yang dilindungi konstitusi. Terlebih keberadaan Pansus KPK juga telah dimuat dalam lembar berita negara sehingga telah terpenuhi asas legalitasnya kecuali kelak MK berpendapat lain semisal bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). MK yang akan memutus apakah KPK termasuk lembaga pemerintah yang bisa di-Angket-an oleh DPR atau tidak.
Namun ketika mulai menyoal masa lalu Ketua KPK Agus Rahardjo, maka kewarasan Pansus KPK perlu ditanyakan. Tidak butuh ahli hukum tata negara untuk memahami abuse of power yang dilakukan Pansus KPK ketika mengorek kinerja Agus saat masih menjabat sebagai Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Sebab bukan hanya melenceng jauh dari semangat pembentukan Pansus KPK, namun sudah terang-terangan ingin menjatuhkan kredibilitas komisioner KPK yang tidak ada kaitannya dengan persoalan yang tengah menjadi objek penyelidikan.
Kita mempertanyakan motivasi anggota Pansus Angket KPK dari PDIP, Arteria Dahlan ketika secara khusus menggelar jumpa pers untuk mempublikasi "temuannya" terkait dugaan adanya kerugian negara karena LKPP tidak memberikan evaluasi pengadaan Pakkat Road Maintenance Truck di Dinas BIna Marga DKI Jakarta Tahun 2015. Saat itu Agus menjabat sebagai Ketua LKKP. Arteria mengaku menemukan 4 penyimpangan pada pengadaan barang senilai Rp 36.1 miliar tersebut.
Apa hubungannya kinerja Agus di LKPP dengan Pansus Angket KPK? Ada tiga kesalahan mendasar yang telah dilakukan Arteria. Pertama, Arteria sepertinya lupa pada tujuan dibentuknya Pansus di DPR. Dikutip dari laman DPR, Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu dan dibatasi waktunya. Lalu apa tugas pokok Pansus KPK? Jika melihat ke belakang, Pansus Angket KPK bermula dari pernyataan penyidik senior KPK Novel Baswedan dalam sidang Tipikor kasus korupsi e-KTP di mana Miryam S Haryani saat menjadi saksi mencabut seluruh keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), terutama terkait aliran dana korupsi di DPR. Saat itu Novel mengatakan Miryam mendapat tekanan dari DPR sehingga mencabut BAP. Sementara Miryam mengaku keterangan dalam BAP dibuat dalam kondisi tertekan.
DPR kemudian beraksi. Bukan untuk melindungi mantan koleganya dari Partai Hanura tersebut, tetapi "mengamankan" nama-nama yang sempat disebutkan dalam BAP Miryam, termasuk seluruh anggota Komisi II DPR periode 2009-2014. Nama-nama mantan anggota Komisi II dari PDIP yang saat ini memegang kekuasaan pun ikut disebut seperti Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Tentu saja tidak ketinggalan nama mantan Ketua Fraksi Golkar yang kini menjabat sebagai Ketua DPR, Setya Novanto.
DPR meminta rekaman pemeriksaan Miryam untuk diputar di DPR. KPK menolak karena hal itu menyalahi undang-undang. Dalam sidang Miryam sebagai terdakwa pemberi keterangan palsu, rekaman itu akhirnya diputar. Namun DPR kembali bereaksi keras. Setelah Pansus Angket KPK dibentuk dan berhasil menghadirkan Direktur Penyidik KPK Brigjen Aris Budiman, didapat keterangan jika rekaman tersebut tidak diputar secara utuh alias telah diedit. KPK sendiri telah mengklarifikasi pernyataan Aris Budiman dengan mengatakan rekaman tersebut telah terkonfirmasi alias valid.
Jika melihat kronologi pembentukannya, mestinya tugas Pansus Angket KPK sudah selesai. DPR tidak bisa beralasan masih menunggu keterangan komisioner KPK karena tujuan utamanya untuk mengetahui isi rekaman pemeriksaan terhadap Miryam sudah didapat. Jika Pansus menganggap ada kejanggalan, mestinya tinggal ditindaklanjuti melalui mekanisme yang berlaku di DPR. Silahkan dibuat kesimpulan sementara sebelum dibawa ke sidang paripurna dan disampaikan kepada Presiden. Mengapa saat ini Pansus Angket KPK malah mengulik kinerja Agus Rahardjo saat sebelum duduk di KPK?
Kedua, DPR bukan lembaga peradilan, bukan pula penyidik pidana, melainkan lembaga politik. Dalam konteks ini, DPR tidak bisa memanggil seseorang atas dugaan tindak pidana. Pengadaan barang di Dinas Bina Marga DKI tidak memiliki hubungan langsung dengan Agus Rahardjo selaku Ketua LKPP. Jika pun LKPP tidak memberikan evaluasi terhadap suatu kegiatan pengadaan barang dan karenanya berdampak pada kerugian negara, pembuktiannya harus dilakukan oleh penegak hukum, bukan lembaga politik.