Keinginan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri agar kadernya mendapatkan dukungan dari para kyai sepuh (khos) kaum Nahdliyin, kandas. Melalui surat Arab Pegon, Bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf arab, kyai-kyai NU yang didatangai Ahmad Basarah, menegaskan dukungan kepada Saifullah Yusuf pada Pilgub Jawa Timur 2018 sudah final.
Sebaliknya mereka justru meminta agar PDIP ikut mendukung Saifullah demi menjaga hubungan sinergitas antara kaum santri tradisonal dengan kaum nasionalis. Mungkinkah Megawati luluh diserbu surat-surat dari kyai khos NU tersebut?
Pilkada Jatim menjadi salah satu daerah yang harus dimenangkan PDIP jika ingin mengulang kemenangan Pemilu 2014. Di samping kandang kedua kaum nasionalis setelah Jawa Tengah, Jatim memiliki arti strategis dan historis bagi PDIP. Bukan saja karena makam ayahnya, Ir Soekarno, berada di Blitar, namun juga terkait kelahiran PDIP itu sendiri. Dari Surabaya Megawati mengawali kemunculannya di pentas politik nasional ketika pada tahun 1993 terpilih menjadi Ketua Umum PDI.
Meski kongres Surabaya tidak diakui Soeharto, namun nama Megawati tidak lantas surut, bahkan terus membesar bak bola salju. Tentu Megawati tidak bisa melupakan jasa arek-arek Suroboyo, termasuk dukungan para kyai, ketika dirinya berjibaku melawan rezim Soeharto. Setelah Soeharto tumbang, PDIP Megawati berganti nama menjadi PDI Perjuangan, sementara PDI tetap dikuasai kubu Soerjadi.
Tidak heran jika Megawati tampak sangat serius menggarap Jatim. Beberapa kali Megawati terbang ke Jatim, baik secara pribadi maupun kegiatan partai, termasuk saat ini. Jika bisa memenangkan Pilkada Jatim, PDIP mungkin juga akan merebut kembali wilayah Bali yang sudah lepas ke tangan koalisi Golkar dan Demokrat pada Pilkada 2013 lalu. Selain akan jadi poros timur nan strategis, keberhasilan memenangkan Jateng, Jatim dan Bali bisa menjadi pelipur lara warga PDIP, setelah kehilangan Banten dan Jakarta, dan kemungkinan juga tidak akan mengusung kader sendiri di Pilkada Jabar meski berstatus pemenang dan satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon sendiri.
Keinginan Megawati memenangkan Pilkada Jatim sangat logis karena meski bukan partai pemenang tetapi PDIP menguasai wilayah-wilayah padat penduduk- khususnya perkotaan, dan daerah tapal kuda khususnya Banyuwangi, Lumajang dan Probolinggo. Dengan mengantongi 19 kursi di DPRD Jatim, selisih satu kursi dibanding PKB sebagai partai pemenang, PDIP memiliki peluang cukup besar untuk mengusung pasangan calon sendiri. Terlebih PDIP juga memiliki kader kharismatik dengan elektabilitas cukup tinggi yakni Tri Rismaharini yang kini menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Jika Risma menolak, PDIP bisa mengusung kader eksternal yang memiliki kedekatan dengan PDIP terutama Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.
Namun sanggupkah Megawati melawan kehendak kyai khos di Jatim? Di sini menariknya Pilkada Jatim karena peran kyai cukup sentral. Kaum nahdliyin memiliki ketaatan yang kuat kepada kyainya. Apa kata kyai, itu juga yang akan dilakukan para santrinya. Sebentuk hubungan emosional yang mungkin susah dipahami pihak luar, tetapi sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di kalangan NU. Jika dilihat dari perspektif politik, sebagaimana Pilkada Jakarta, mungkin ada yang menyebutnya sebagai sikap rasis, anti keberagaman, karena mereka hanya mau memilih calon pemimpin yang berlatar-belakang NU. Tetapi jika pendekatannya berdasarkan agama dan kultur , tidaklah demikian. Para santri meyakini kyainya adalah sumber kebenaran setelah Tuhan, Nabi, Sahabat Rasulullah dan para wali.
Jika didasarkan pada kepentingan PDIP di tahun 2019, kemungkinan terbesar Megawati akan mengikuti kemauan kyai-kyai NU yang telah berkirim surat dengan bahasa Arab Pegon yang dititip melalui Ahmad Basarah. Artinya PDIP akan ikut bersama PKB mengusung Saifullah dengan opsi menempatkan kadernya sebagai calon Wakil Gubernur. Hal ini persis seperti yang dilakukan PDIP di Jabar di mana PDIP mendukung jagoan Golkar.
Namun andai benar demikian, maka ada dua catatan serius yang harus dicermati PDIP. Pertama, ada kemungkinan Pilkada Jatim hanya diikuti satu pasangan calon. Partai lain di luar PKB dan PDIP tentu berpikir seribu kali untuk mengusung calon lain tanpa kans menang. Koar-koar PDIP sebelumnya yang menuding partai lain tidak lain saat beberapa pilkada hanya diikuti calon dari PDIP sehingga sempat ditunda karena saat itu UU belum memperbolehkan adanya calo tunggal, akan berbalik menerjang ulu hatinya sendiri. Kader-kader PDIP harus belajar lagi untuk menahan diri dengan tidak mengumbar hujatan kepada pihak lain karena suatu waktu sangat mungkin apa yang mereka tentang justru dijadikan pilihan.
Kedua, ini merupakan bukti kegagalan kaderisasi di tubuh PDIP sekaligus koreksi terhadap penggunaan hak prerogatif yang dimiliki Megawati. Kegagalan penjaringan bakal calon di Jabar, dan keengganan daerah lain membuka penjaringan serupa, adalah bukti nyata bagaimana penggunaan hak prerogatif Megawati pada Pilkada Jakarta telah melampaui peruntukannya sehingga meruntuhkan sistem demokrasi yang menjadi roh PDIP sendiri. Megawati harus berani mengevaluasi dirinya sendiri agar dapat mengembalikan kejayaan PDIP, agar kader-kader di bawah, memiliki ruang komunikasi politik yang lebih luas dengan pihak eksternal tanpa dibayang-bayangi hak prerogatif sang ketum.
Masih ada sedikit waktu bagi PDIP untuk berbenah sebelum terjun dalam pesta sesungguhnya di tahun 2019. Ada misi besar yang harus dipertahankan yakni kemenangan Pemilu dan Pilpres. Jangan sampai, usai 2019, kader-kader PDIP sibuk menyalahkan pihak lain akibat kekalahan yang dideritanya.