Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Menguji Konsistensi SBY Dukung Jokowi

Diperbarui: 10 September 2017   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SBY didamping istri dan kader memotong tumpeng peringatan HUT Partai Demokrat ke 16. Foto: KOMAPS.com/Ramdhan Triyadi Bempah

Panggung politik dalam perayaan HUT partai politik yang berada di luar kekuasaan biasanya berisi kritik tajam terhadap penguasa. Namun kali ini Susilo Bambang Yudhoyono tidak menggunakan kesempatan itu. Saat merayakan HUT Partai Demokrat ke 16, SBY justru menegaskan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo. Ekspresi "kekalahan" atau bentuk kelihaian SBY mengemas isu?

Mengawali sambutan di depan pengurus partai  yang berkumpul di kediamannya, SBY melontarkan sejumlah kritik kepada pihak yang ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jaminan kebebasan masyarakat dalam bersuara. Dua hal ini tentu terkait dengan upaya penyelidikan terhadap kinerja KPK yang tengah berjalan di DPR melalui Pansus Angket KPK. Sementara yang kedua berkaitan dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang berurusan dengan polisi terkait ujaran kebencian di media massa, termasuk dalam kasis Ustad Alfian Tanjung yang ditangkap (lagi) usai dibebaskan PN Negeri Surabaya.

Hanya itu. Tidak ada kritik langsung kepada Presiden Jokowi. Bahkan, selain harapan penyemangat kepada kadernya untuk memenangkan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, SBY cenderung tidak mengumbar target tertentu. Demikian juga soal PIlpres 2019 di mana Agus Harimurti Yudhoyono digadang-gadang bisa tampil menjadi pesaing Jokowi. SBY justru menyeru kepada kadernya untuk membantu pemerintahan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.

Tentu perubahan sikap SBY ini, dari sebelumnya yang cenderung melontarkan kritik keras, tidak serta-merta. Dalam beberapa bulan terakhir, SBY dan Jokowi kerap bertemu, baik dalam acara resmi seperti resepsi HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara, di mana SBY juga bertemu dan bersalaman dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, mau pun di acara non formal termasuk pernikahan putri Ketua DPD Oesman Sapta Odang maupun HUT ke 50 pernikahan Jusuf Kalla - Mufidah.

Benarkah SBY sudah "tunduk" pada Jokowi? Dalam konteks politik, hal semacam itu sangat tabu. Tidak ada kata kalah atau mengalah dalam kamus politik. itu sebabnya ucapan selamat atas kemenangan lawan menjadi hal yang istimewa kanena sulit dilakukan. Berangkat dari pemahaman ini, maka sangat mungkin perubahan sikap SBY terhadap pemerintah (Jokowi), dibalut kepentingan strategis baik jangka pendek maupun jangka panjang.

SBY merasakan betul bagaimana "perihnya" di-bully netizen saat melakukan kritik-kritik kepada Jokowi. SBY juga tahu persis bagaimana rahasanya dijadikan sasaran tembak kala terjadi persoalan di tanah air. Bahkan aksi-aksi yang mengarah ke Istana senantiasa dikaitakan dengan dirinya. Agus Yudhoyono pun terkena imbasnya. Keinginan untuk mengorbitkan di pentas politik setelah "dipaksa" keluar dari dinas militer, terancam gagal jika Agus terus diposisikan dan berada pada "jarak tembak" lawan-lawannya. Tidak ada cara lain untuk mencegah Agus layu sebelum sempat moncer. Sebagai orang tua, SBY pun harus rela mengorbankan perasaan dan ambisi lainnya, demi putra sulung kesayangan. Hal yang lazim dan biasa dilakukan oleh orang tua.

Startegi ini terbukti ampuh. Meski Jokowi bisa menangkap maksud terselubung SBY saat mengirim Agus ke Istana, tetapi tujuan SBY agar Agus tidak dijadikan sasaran bully nitizen, telah berhasil. Dengan merangkul dan memuji setinggi langit Jokowi, kini Agus pun telah diterima nitizen.

Persoalannya, sampai kapan SBY akan berlaku "mengalah" pada Jokowi. Sulit memprediksinya. Sebab hal ini berkelindan dengan elektabilitas Agus Yudhoyono. SBY akan menjadikan elektabilitas Agus sebelum memutuskan apakah kembali menjadi "oposisi" ataukah tetap bersama Jokowi. Semakin cepat Agus mendapat tempat di hati masyarakat, secepat itu pula SBY akan berpaling dari Jokowi.

Jika ditilik dari uraian tersebut, jelaslah sikap "mengalah" SBY bukan tanpa embel-embel, tetapi bagian dari strategi untuk memenangkan pertempuran politik jangka panjang. Dipastikan, ke depan setidaknya hingga usai Pilkada serentak 2018, tidak akan ada lagi manuver terbuka SBY yang berkaitan langsung dengan Jokowi. SBY akan mengemas setiap isu dengan lebih soft sebagaimana kritiknya terhadap Pansus Angket KPK. Tentu hal ini lebih menyulitkan kubu Jokowi karena harus mewaspadai pergerakan politik SBY di belakang layar.  

salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline