Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

PT 20% Tidak Menjamin Jokowi Menang Pilpres

Diperbarui: 25 Juli 2017   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi bersama pengurus PPP usai penutupan MUkernas II di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

Rancangan Undang-undang Pemilu sudah disetujui DPR sehingga tinggal ditandatangani Presiden Joko Widodo untuk diundangkan. Salah satu poin penting dalam RUU tersebut adalah dimungkinkannya calon tunggal dan besaran ambang batas dukungan calon presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 suara nasional hasil Pemilu 2014.

Dengan demikian Pilpres 2019 mendatang kemungkinan diikuti tiga pasangan calon. Keinginan Jokowi sebagai calon tunggal pun dipastikan gagal. Padahal pemerintah sudah berhasil melobi DPR untuk menyetujui klausul calon tunggal.

Bukan hanya gagal tampil sebagai calon tunggal, Jokowi pun akan mendapat lawan tangguh dari Hambalang dan Cikeas. Peta dukungan opsi presidential threshold (PT) dalam rapat paripurna DPR tidak mencerminkan realitas politik sesungguhnya. Tidak ada jaminan beberapa partai politik yang mendukung opsi pemerintah seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Golkar, akan tetap bersama Jokowi di Pilpres 2019.

Meski Partai Golkar dan PPP sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi, tetapi tetap terbuka kemungkinan akan terjadi perubahan sikap menjelang 2019. Dukungan yang disuarakan saat ini diyakini memiliki maksud terselubung. Golkar membutuhkan Jokowi menyangkut nasib ketua umumnya, Setya Novanto yang saat ini tengah berupaya melepaskan diri dari status tersangka korupsi e-KTP yang dikenakan KPK melalui gugatan praperadilan. Jika bahtera Golkar goyah hingga berujung pada pergantian ketua umum seperti keinginan kader senior Akbar Tandjung, bukan hal aneh jika kelak Golkar meninggalkan Istana.  

Sementara PPP membutuhkan tameng untuk mengatasi konflik internal yang sudah berlangsung selama dhampir 3 tahun terakhir. Posisi pemerintah sangat menentukan kubu mana antara Romahurmuziy dan Djan Faridz yang kelak bisa menjadi peserta Pemilu 2019 sekaligus mengusung calon presiden. Meski saat ini kubu Romy berada di atas angin setelah memenangkan gugatan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, serta kehadiran Presiden Jokowi pada penutupan Mukernas II PPP, tetapi kubu Djan Faridz belum sepenuhnya tamat. Jika Romy salah melangkah sebelum 2019, bukan mustahil Djan Faridz akan kembali menguasai PPP. Dikabulkannya PK kubu Romy adalah contoh nyata tidak ada yang tidak mungkin dalam konteks politik dan kekuasaan. Sebab jika pure mengacu pada undang-undang Parpol, khususnya Pasal 33 ayat 2 jelas disebutkan penyelesaian konflik kepengurusan parpol hanya bisa dibawa hingga tingkat kasasi. Tetapi nyatanya setelah kalah kasasi, Romy masih bisa mengajukan PK dan menang.

Kemungkinan PKB tidak tidak berada dalam satu kubu dengan PDIP, Nasdem dan Hanura yang akan kembali mengusung Jokowi, lebih terbuka. Dukungan yang diberikan saat paripurna pengesahan RUU Pemilu lebih ditujukan untuk mengamankan 3 menterinya di Kabinet Kerja yakni Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrowi dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjoyo.

Dari peta itu dapat ditelusuri kemungkinan jumlah paslon pada pIlpres  mendatang. Kubu Gerindra yang akan tetap mengusung Prabowo Subianto kemungkinan tetap bersama PKS seperti pada pilpres 2014 dan juga beberapa gelaran pilkada terakhir. Meski telah mengantongi lebih dari 20 persen kursi DPR, kubu Hambalang kemungkinan bisa mendapat tambahan dukungan dari Golkar jika Setya Novanto lengser dan penggantinya berasal dari faksi Aburizal Bakrie.

Sementara Partai Demokrat kembali akan memberi kejutan sebagaimana pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tetap akan menjadi jualan utama. Demokrat tidak akan kesulitan menggandeng Partai Amanat Nasional (PAN). Sayangnya gabungan keduanya belum cukup untuk mengusung paslon karena hanya memiliki dukungan sekitar 17 persen. Kubu Cikeas harus mendapat tambahan dukungan dari minimal satu partai. Nah, di sini faktor Susilo Bambang Yudhoyono kembali menjadi kuncinya. SBY tidak akan kesulitan merayu PKB (9,04 persen), bahkan mungkin PPP (6,53 persen), untuk bergabung ke Cikeas sebagaimana pada Pilkada DKI Jakarta.

Setelah kekalahan di Jakarta, tentu banyak yang pesimis AHY akan bisa mengalahkan Prabowo apalagi Jokowi. Tetapi SBY memiliki pengalaman memenangkan dua kali pilpres. Belum lagi jika SBY belajar dari kontestasi Jakarta. AHY bisa menjadi calon alternatif di tengah persaingan Jokowi dengan Prabowo seperti halnya  Anies Baswedan yang memanfaatkan panasnya perseteruan kubu AHY dengan kubu Basuki Tjahaja Purnama.

Meski gelaran pilpres masih dua tahun lagi, tetapi geliat politik seluruh parpol akan diarahkan ke sana setelah UU Pemilu diundangkan. Masyarakat akan kembali disuguhi isu-isu panas, baik black maupun negative campaign.

Salam @yb




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline