Keinginan PDIP agar Presiden Joko Widodo mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno yang dinilai pro liberal, tak jua surut. Tetapi semua manuvernya seperti membentur tembok karena Jokowi tidak mau hak prerogatifnya diintervensi. Kini setelah Panitia Khusus Hak Angket Pelindo II DPR menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 4,08 triliun, masihkah Rini tak terusik?
Dendam kesumat PDIP terhadap Rini Soemarno dapat ditelisik dari serangkaian serangan yang dilancarkan kader-kader PDIP. Bahkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyebut BUMN di tangan Rini tak ubahnya korporasi swasta yang hanya mengedepankan bisnis semata. Padahal sesuai amanat konstitusi BUMN sebagai soko guru perekonomian nasional memiliki tugas untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tudingan Megawati tidak sepenuhnya salah. Di tangan Rini, BUMN-BUMN mengalami peningkatan pendapatan setelah membuang beban tugas melayani "wong cilik" yang dinilai merugikan, melakukan restrukturisasi manajemen hingga menutup pintu dari kepentingan partai politik. Sebagaimana diketahui, era sebelumnya BUMN selalu menjadi sapi perah parpol-parpol penguasa. BUMN juga dijadikan tunggangan politik penguasa sehingga tidak heran jika banyak BUMN kakap, termasuk Pertamina, merugi. Di tangan Rini, BUMN-BUMN menjelma menjadi korporat yang sehat dan menguntungkan. Tahun 2016 total laba seluruh BUMN mencapai Rp 164 triliun atau naik 10.1 persen dari tahun sebelumnya.
Salah satu kebijakan Rini yang tidak populer bagi partai penguasa adalah menolak titipan untuk pejabat level manajer hingga direktur utama. Sudah banyak titipan partai yang diabaikan oleh mantan sekretaris pribadi Megawati tersebut.
Awalnya, manuver PDIP dinilai hanya pengalihan agar Rini memiliki tameng ketika didekati partai lain. Rini bisa menggunakan penolakan terhadap titipan PDIP, yang notabene partainya presiden, sebagai senjata untuk menolak pejabat titipan partai lain. Dengan demikian Rini tidak diusik oleh lawan-lawan PDIP.
Tetapi setelah RJ LIno- yang saat itu menjabat sebagai Dirut Pelindo II, menjadi tersangka di KPK dalam kasus dugaan korupsi pembelian Quay Container Crane di Pelindo II, dan para politisi PDIP di Senayan sukses membentuk Pansus Angket Pelindo II, publik mulai meyakini keseriusan Megawati untuk menggusur Rini dari Kementerian BUMN. Terlebih Pansus yang dipimpin kader PDIP Rieke Diah Pitaloka sempat memberikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi agar mencopot Rini Soemarno.
Kini Pansus Angket Pelindo II sudah menuntaskan kerjanya. Dari hasil audit investigatif BPK yang diminta Pansus, diketahui ada potensi kerugian negara sebesar Rp 4,08 triliun dalam perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Hutchinson Port Holding (HPH). Kontrak berdurai 20 tahun antara Pelindo II dan perusahaan yang berbasis di Hongkong yang diteken tahun 2015 lalu tersebut dinilai tidak wajar karena dilakukan jauh sebelum kontrak habis yakni 2019 dengan nilai di bawah kontrak terdahulu.
Masih banyak temuan Pansus Angket Pelindio II. Namun yang perlu dicatat, meski kontrak ditandatangani RJ Lino, peran Rini Soemarno tidak bisa diabaikan. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri BUMN, Rini diisukan menjadi penentu akad antara Pelindo II dengan PT HPH.
KPK tampaknya tidak akan mengabaikan temuan Pansus Angket Pelindo II. Saat menerima berkas tersebut dari Rieke, Ketua KPK Agus Rahadjo menegaskan pihaknya akan segera membentuk tim gabungan dengan melibatkan BPK dan PPATK.
Kini setelah KPK "sukses" membongkar praktek korupsi e-KTP dan menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka, akankah KPK memfokuskan perhatiannya ke Kementerian BUMN? Jika demikian, sudah saatnya Rini "mengukur jarak" ke kantor KPK dan Jokowi kembali harus kehilangan pembantu dekatnya.
salam @yb