Bukan kali ini saja keberadaan Partai Amanat Nasional dalam Kabinet Kerja dipersoalkan. Kursi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN RB) yangh diduduki Asman Abnur menjadi panas setiap kali loyalitas PAN kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dipertanyakan. Masihkah PAN mampu berkelit dari serangan PDIP.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terang-terangan meminta PAN keluar dari koalisi partai pendukung pemerintah karena sering berbeda pandangan terkait kebijakan Presiden Jokowi. Terbaru, PAN memilih bergabung dengan PKS, Demokrat dan Gerinda menentang Perppu No. 2/2017 tentang Ormas karena dinilai akan memberangus kebebasan masyarakat dalam berkumpul dan berserikat yang dijamin UUD 1945.
PAN menilai pembubaran ormas harus tetap melalui pengadilan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.17/2013. Pemerintah, menurut Ketua DPP PAN Yandri Susanto, mestinya membina ormas-ormas yang dianggap menyimpang, bukan malah membubarkannya tanpa diberi kesempatan untuk membela diri dalam sebuah persidangan terbuka.
Bukan baru sekali ini keberadaan PAN di kabinet diulik partai-partai pengusung pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. PAN dicap sebagai penumpang gelap karena sebelumnya mendukung pasangan Prabowo Subianto. Terlebih saat PAN terang-terangan menohok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melalui Amien Rais- Ketua Dewan Kehormatan PAN, dalam Pilkada DKI Jakarta. PAN memilih mendukung pasangan Anies Rasyid Baswedan -- Sandiaga Salahuddin Uno bersama PKS dan Gerindra, daripada mendukung jagoan pemerintah, Ahok-Djarot Saiful Hidayat.
Kemarahan PDIP semakin kompleks ketika PAN ogah-ogahan mendukung Hak Angket DPR untuk menyelidiki proses penyidikan terhadap para tersangka korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimotori partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut. apalagi PAN juga belum sepakat soal presidential threshold(ambang batas untuk bisa mencalonkan presiden) sebesar 20 persen kursi DPR yang diinginkan pemerintah.
PDIP pun gencar mewacanakan reshuffle kabinet dengan target mendepat kader PAN dari kabinet. Bahkan Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki ikut menghembuskan isu reshuffle kabinet. Politisi PDIP yang juga mantan calon wakil gubernur Jawa Barat ini banyak disebut sebagai calon pengganti Asman Abnur jika PAN benar-benar dikeluarkan dari koalisi pemerintah.
Tetapi perjuangan PDIP untuk menyatusuarakan partai-partai pendukung pemerintah terlalu utopis. Dalam sejarah Indonesia, hanya di masa Presiden Soeharto partai-partai bisa satu suara terhadap segala keinginan dan kebijakan pemerintah. Soekarno dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh presiden yang kenyang ditikam partai pendukungnya. PKS yang waktu itu mendukung pemerintahan SBY, justru paling keras menyuarakan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, terutama jika terkait dengan isu-isu strategis seperti kenaikan BBM.
Kini Presiden Jokowi harus menerima kenyataan adanya partai pendukung yang beberapa kali berbeda suara dengan kebijakan politiknya. Jokowi harus mampu meredam manuver PDIP agar tidak menjadi isu liar yang berpotensi menimbulkan perpecahan sekaligus melemahkan koalisi pendukung pemerintah. Jokowi masih membutuhkan PAN sebagai jangkar untuk mendekati kelompok Islam moderat.
Itu sebabnya, menilai PAN tidak loyal hanya karena hal-hal yang disebutkan di atas, juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab bisa jadi, Jokowi sengaja membiarkan PAN untuk tujuan lain yang lebih strategis. Apalagi, seperti dikatakan kader senior PAN Dradjat Hari Wibowo di sini PDIP juga sering membandel pada pemerintahan Jokowi JK, termasuk saat menggulirkan Pansus Pelindo dengan tujuan akhir menggulingkan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Jika demikian adanya, keinginan PDIP mendepak PAN dari kabinet sengaja dihembuskan untuk mencapai target lain yang lebih strategis.
salam@yb