Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Guyonan Tidak Lucu Nusron Wahid

Diperbarui: 17 Juni 2017   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nusron Wahid memberikan keterangan kepada wartawan. Foto: KOMPAS.com

Nusron Wahid memang bukan pelawak, apalagi komika. Tidak mengherankan jika joke yang dilempar Koordinator Pemenangan Pemilu Indonesia I Partai Golkar tersebut garing. Terakhir dia melemparkan “candaan” soal kemungkinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti  tiba-tiba maju dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat sehingga akan memporak-porandakan peta dukungan calon. Joke ini menunjukkan Nusron bukan saja tidak memiliki selera humor yang baik,  tetapi juga ngawur.

Mengapa demikian? Joke yang dilempar seorang politisi, biasa memiliki  memiliki tujuan tersembunyi yang diharapkan menimbulkan efek berantai. Contoh joke politik yang paling terkenal adalah ketika KH Abdurrahman Wahid menyamakan anggota DPR dengan anak taman kanak-kanak. Saat itu baik kawan maupun lawan politiknya hanya tertawa karena joke Gus Dur didasarkan pada fakta di mana saat itu sebagian besar anggota DPR suka ngambek dan senang bikin gaduh layaknya anak kecil yang tengah minta perhatian. Joke Gus Dur memiliki efek luar biasa karena menjadi “pedoman” masyarakat ketika menilai perilaku anggota dewan.

Bagaimana dengan joke Nusron Wahid mengenai kemungkinan munculnya Susi Pudjiastuti dalam kontestasi PIlkada Jabar? Tujuan joke Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia itu adalah mengkritisi hasil survei Poltracking yang menyoroti elektabilitas para bakal calon yang akan mengikuti Pilgub Jabar. Nusron ingin mengatakan, hasil survei tersebut tidak ada gunanya, tidak bisa menjadi referensi, manakala muncul tokoh di luar nama-nama yang disurvei.

Nusron lantas mencontoh Pilkada DKI Jakarta di mana pada detik terakhir Koalisi Cikeas mengeluarkan Agus Harimurti Yudhoyono yang sebelumnya tidak diprediksi. Nusron lantas menawarkan Susi Pudjiastuti sebagai sosok tidak terduga dalam kontestasi PIlkada Jabar sebagai AHY pada Pilgub DKI.

Mengapa joke Nusron dikatakan garing?

Pertama, kemunculan AHY tidak mengubah peta politik secara signifikan. Keterkejutan di sini hanya pada kenekadan Susilo Bambang Yudhoyono mengorbankan karir militer anaknya. Bukan saja terpuruk di babak awal, perolehan suara AHY juga sangat rendah, kalah dengan suara golput (17,05 persen berbanding 22,9 persen).

Kedua, menggunakan Susi Pudjiastuti sebagai tokoh yang mungkin muncul dalam kontestasi PIlkada Jabar, sangat ngawur karena tidak mungkin. Mengapa? Salah satu persyaratan bakal calon adalah berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat. Untuk memenuhi syarat ini tentu menggunakan ijazah. Sementara Susi tidak memiliki ijazah SMA atau sekolah yang sederajat.

Ketiga, ketenaran dan nama besar tidak linier dengan elektabilitas. Hasil Pilkada DKI Jakarta menjadi pembenarnya di mana Ahok yang memiliki keterkenalan hingga 90 persen lebih, gagal meraup dukungan yang sebanding. Demikian juga dalam kontestasi Pilkada Provinsi Banten di mana ketenaran Rano Karno- sebagai incumbent  sekaligus artis, gagal mendongkrak raihan suara.  

Bagaimana dengan Susi Pudjiastuti? Setelah diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, gebrakan yang dilakukan pengusaha perikanan dan transportasi udara itu memang sangat fenomenal. Namanya mencuat paling tinggi dibanding rekan sejawatnya dalam Kabinet Kerja. Berbagai pujian dan penghargaan mengalir deras bukan hanya dari dalam negeri, namun juga lembaga-lembaga di luar negeri. Aksi heroic saat menenggelamkan kapal-kapal yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia, menjadi simbol kembalinya kejayaan dan kedaulatan laut yang- meminjam istilah Presdien Joko Widodo, sudah bertahun-tahun dipunggungi oleh rezim terdahulu.

Namun kebijakan Susi bukan tanpa  resistensi. Salah satunya, penolakan sejumlah nelayan terkait larangan penangkapan ikan menggunakan cantrang. Politisi PKB yang mencoba memblow up dan berdiri bersama nelayan, baru berhenti bersuara setelah Susi melakukan moratorium atas kebijakannya dan (secara kebetulan) sejumlah pejabat di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang digawangi politisi PKB, tersangkut kasus dugaan korupsi. Belum lagi kebijakan ukur ulang tonase kapal dan larangan penangkapan ikan tertentu yang tidak populer di mata nelayan. Terlepas ada motivasi politik di balik provokasi PKB, yang pasti sebelumnya sudah ada penolakan tersebut.

Dari gambaran itu, andai bisa maju dalam kontestasi PIlgub Jabar, Susi akan kesulitan meraih dukungan suara nelayan. Penolakan juga akan muncul dari basis-basis pemilih Muslim  “garis keras”. Suka atau tidak suka, dalam menghitung elektabilitas seorang calon, keberadaan pemilih dengan kategori tersebut tidak bisa dikesampingkan. Kehadiran mereka nyata dan  harus dihargai dalam konteks kebhinnekaan aspirasi politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline