Presiden Joko Widodo kembali memakai strategi dua kaki untuk menghadapi sikap keras PT Freeport Indonesia. Dengan sigap Presiden menjadwal ulang kunjungannya ke Australia- yang sebelumnya sempat tertunda, demi mendapat jaminan Negeri Kanguru itu tidak akan “main mata” jika sampai Amerika Serikat menggunakan isu Papua di fora Internasional karena marah perusahaan warga negaranya diganggu. Apalagi Australia merupakan sekutu terdekat Amerika yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
Diplomasi jalan pagi membuahkan hasil. Perdana Menteri Malcolm Turnbull memberi garansi Canberra menghormati Traktat Lombok 2006. Salah satu poin terpenting dari Traktat Lombok adalah pengakuan Australia atas kedaulatan dan teritorial Indonesia. sebagai imbalannya, Indonesia bersedia untuk menjalin kembali kerjasama militer yang sempat terputus setelah muncul insiden plesetan Pancasila menjadi Pancagila yang dilakukan oleh perwira militer Australia.
Hasil kesepakatan yang dicapai di Australia hanya sedikit contoh bagaimana Presiden Jokowi menggunakan strategi dua kali alias nokang, Kehadiran Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud juga bisa dijadikan contoh bagaimana Jokowi menggunakan Negara Arab itu untuk “mengimbangi” dominasi modal China yang mengalir ke Indonesia. Terlebih selama pemerintahannya, kehadiran investor China selalu mematik isu chinanisasi Indonesia. Tidak heran, kehebohan kedatangan penjaga dua Kota Suci itu dikaitkan dengan besarnya nilai investasi yang akan digerojokkan di Indonesia. Tanpa sadar publik akhirnya membandingkan nilai investasi kedua negara. Terlepas mana yang lebih besar, isu chinanisasi pun dengan sendiri akan mereda.
Sedikit ke belakang, Presiden Jokowi juga membiarkan peralatan tempur Indonesia dibeli hanya dari satu negara. TIdaks eperti rezim sebelumnya yang mengandalkan alat utama sistem pertahanan (alutsista) dari Amerika dan sekutunya, Jokowi membeli beberapa peralatan tempur dari Rusia, termasuk Sukhoi Su-35 yang konon memiliki kemampuan setara pesawat tempur F-35 buatan Amerika Serikat.
Bagaimana di dalam negeri? Meski Prabowo Subianto merupakan rival utama dalam pilpres kemarin, Jokowi tidak sepenuhnya menganggap demikian. Prabowo tidak pernah dianggap sebagai musuh abadi, namun juga tidak benar-benar “diperlakukan” sebagai teman sejati. Sedikitnya dua kali Jokowi “memanfaatkan” Prabowo sebagai “musuh tapi mesra”.
Pertama saat Jokowi terjepit karena didesak untuk melantik Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri awal tahun 2015 lalu. Padahal saat itu Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi menggandeng Prabowo untuk mengurangi tekanan yang digalang PDIP. Hasilnya sangat manjur. Anggota DPR dari kubu Koalisi Merah Putih yang – seolah merestui Jokowi mengangkat Budi Gunawan tapi sesungguhnya tengah mendorong ke tubir jurang, mengurangi tekanan. PDIP yang tidak memiliki koalisi kuat di DPR akhirnya juga mau menerima ketika Jokowi membatalkan pengangkatan Budi Gunawan.
Bantuan Prabowo saat itu sulit diterima nalar karena KMP sendiri masih kuat dan beberapa kali mencoba melakukan maneuver untuk menjegal Jokowi. Jika politik adalah bagaimana memanfaatkan setiap momen demi satu kepentingan (kekuasaan), mestinya Prabowo memanfaatkan “kemarahan” PDIP kepada Jokowi yang tidak mau mengangkat Budi Gunawan. Jika pun tidak ikut menjatuhkan, Prabowo bisa memberi jalan kepada PDIP untuk menekan Jokowi melalui DPR. Tetapi Prabowo ternyata tidak melakukan hal itu.
“Kebodohan” Prabowo kembali terulang saat mulai marak isu kudeta yang menyelinap di balik aksi umat Islam menuntut peradilan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama karena diduga melakukan penistaan agama. Isu kudeta bukan hanya datang dari luar, namun juga beredar kencang di dalam pagar istana. Jokowi harus melakukan roadshow politik, baik ke kalangan ulama, organisasi Islam hingga satuan-satuan militer. Jokowi pun menemui Prabowo di kediamannya di Hambalang. Jokowi yang tidak pernah naik kuda, terpaksa melakukan akrobatik demi menyenangkan tuan rumah. Hasilnya, Prabowo memberi jaminan dirinya akan mengawal pemerintahan Jokowi-JK hingga selesai. Prabowo baru terperangah ketika sejumlah orang dekatnya diciduk polisi. Prabowo tidak bisa berbuat apa-apa manakala Ahmad Dhani, Rachmawati Soekarnoputri, Kival Zen dan sejumlah orang yang selama ini berkelindan di sekitar Prabowo ditetapkan sebagai tersangka makar.
Alasan Jokowi mendekati Prabowo bukan saja karena akan menangkapi orang-orang dekatnya, tetapi untuk memperkuat posisinya karena saat itu tengah berseteru secara terbuka dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara matematis, jika SBY bergerak terlebih dulu merangkul Prabowo, isu kudeta tidak akan begitu Judah dipadamkan. Dengan mengunci Prabowo, Jokowi lebih leluasan meladeni manuver SBY yang tengah berambisi membangun dinasti.
Sepintas politik dua kaki Presiden Jokowi brilian dan nyaris tanpa resiko. Terlebih setelah hampir semua partai politik menyatakan kesetiaan karena nasib para pengurusnya tergantung pada sikap politik Jokowi sebagai buntut konflik internal.
Tetapi politik nokang juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, akibat longgarnya hubungan yang terjalin, Jokowi tidak memiliki kawan dan lawan setia. Ketika lawan bisa secepat kilat berubah menjadi kawan, bukan hal yang mustahil berlaku sebaliknya- kawan menjadi lawan. Terlebih Jokowi tidak pernah merasa nyaman dengan hanya ditopang PDIP. Memberi jalan partai lain masuk ke dalam lingkarannya, adalah bukti sahih bagaimana Jokowi membutuhkan banyak kawan, sekaligus lawan untuk kepentingan politik dua kakinya.