Jangan pernah meremehkan strategi politik Susilo Bambang Yudhoyono. Memenangkan dua kali pemilihan presiden secara langsung adalah bukti sahih kecemerlangan strategi politik mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI sekaligus Ketua Fraksi ABRI di MPR ini. Tetapi mengapa SBY tampak kedodoran saat meracik strategi untuk kemenangan putra sulungnya di Pilkada DKi Jakarta? Rupanya SBY lupa mengunci pintu belakang sehingga massa yang sudah masuk ke rumah keluar dari pintu belakang!
Dalam kazanah politik tanah air, sampai dengan tanggal 23 September 2016, Mayor Infanteri Agus Harimurti Yudhoyono bukanlah siapa-siapa. Setelah sang ayah memutuskan untuk mengirim ke medan tempur politik bertajuk Pilgub DKI 2017, perlahan nama AHY- demikian pendukungnya menyapa Agus Harimurti, mewarnai blantika politik tanah air. Sosoknya yang cool, smart dengan bukti sederet prestasi akademik, dan gaul layaknya anak muda masa kini, menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih Jakarta yang jenuh dengan gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang kaku dan suka memancing kontroversi.
Dalam waktu sekejap, AHY, yang berpasangan dengan mantan None Jakarta Sylviana Murni, berhasil merebut perhatian masyarakat Jakarta. Hal ini bisa dilihat dari hasil survei sejumlah lembaga yang dirilis antara bulan Oktober sampai dengan Desember 2016. Jika saja PIlgub DKI digelar di awal Desember, kemungkinan besar pasangan calon (paslon) AHY-Mpok Sylvi akan melenggang ke putaran kedua mendampingi Ahok-Djarot.
Tetapi konstelasi politik mulai berubah menjelang pergantian tahun. Paslon nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahudin Uno perlahan mengeliat. Bagaimana cara pasangan akademisi-pengusaha ini menambah pundi-pundi dukungan?
Anies-Sandi sadar sangat sulit untuk “membongkar” loyalis Ahok-Djarot. Doktrin yang tertanam dalam benak pendukung Ahok-Djarot, selain kesamaan sejumlah faktor, menjadi alat ikat yang tidak mudah putus apalagi hanya dengan janji-janji yang saat ini pun mereka sudah miliki seperti kemudahan mendapatkan rumah, modal usaha melalui program andalan One Kecamatan One Center for Entrepreneurship dan lainnya.
Dengan fakta itu, Anies Sandi lebih suka menyasar kelompok yang belum menentukan pilihan sehingga lebih mudah “dibentuk”. Kepiawaian Anies membumikan rencana program kerjanya sehingga bisa dipahami oleh masyarakat menengah ke bawah, menjadi starting point lonjakan elektabilitas pasangan yang diusung Gerindra-PKS ini. Kesan elitis pasangan ini juga perlahan cair setelah dilakukan sejumlah langkah strategis seperti penonjolan karakter Anies yang lugas, tidak anti budaya, dan memiliki rekam jejak sebagai wong Jowo sehingga pemilih bersuku Jawa yang masih terperangkap dalam stigma primordial : piye-piye pilih wonge dewe, berhasil dimasuki dengan cara yang elegan.
Hasilnya, sejumlah hasil survei yang dirilis antara Januari-Februari menempatkan paslon Anies-Sandi di urutan kedua dengan margin yang tidak terlalu jauh dengan paslon nomor urut 2, Ahok-Djarot. Jika rerata elektabilitas Ahok-Djarot 33-39 persen, maka elektabilitas Anies-Sandi di kisaran 28-33 persen.
Menarik dicermati, mengapa elektabilitas paslon nomor urut 1 AHY-Sylvi justru mengalami tren penurunan. Apakah SBY salah strategi? Mari kita lihat kasus per kasus.
Pertama, politisasi Islam. Sejak mencuatnya kasus dugaan penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahok, terjadi kristalisasi sentimen keagamaan. Jika sebelumnya umat Islam yang memusuhi Ahok hanya dari kelompok FPI, Hizbut Tahrir dan sejumlah ormas Islam puritan lainnya, maka setelah mencuatnya kasus penistaan agama, “musuh” Ahok bertambah dengan ikut bergabungnya kelompok Islam moderat ke barisan kelompok pertama. Tidak sedikit warga NU dan Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam aksi Bela Islam yang berpuncak pada aksi 212. Bahkan ulama-ulama kharismatik yang selama ini enggan bersinggungan dengan politik, ikut memberikan dukungan. Mereka menanggalkan ego mazhab, organisasi dan partai karena sadar Ahok didukung kekuatan besar baik politik maupun financial. Terbukti kemudian, aksi Bela Islam gagal total setelah Ahok mulai hari ini kembali ngantor di Balaikota sementara beberapa pentolan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI justru menjadi tersangka kasus pidana di sejumlah Polda.
SBY berhasil masuk ke dalam isu tersebut dan mendapat simpati tersendiri dari masyarakat. Sikap Presiden Joko Widodo yang dengan “sengaja” mengucilkannya dalam safari politik, menimbulkan simpati. Melalui media sosial, terutama Twitter, SBY panen dukungan. Tweet-nya yang selalu mengesankan dirinya diperlakukan tidak adil oleh Istana, ditunggu dan dibagikan secara masif oleh pengikutnya sehingga ikut mempengaruhi elektabilitas AHY. Umat Islam yang geram dengan sikap pemerintah (baca: Jokowi) yang dianggap tidak netral dalam Pilkada DKI, dengan suka rela berlabuh ke Cikeas.
Dalam kasus ini, strategi SBY terbukti berhasil. Namun SBY kemudian melakukan bunder fatal ketika dengan sengaja memancing amarah Jokowi, melalui statemen-statemen yang vulgar. Salah satu pernyataan vulgar SBY yang sempat menjadi trending topic adalah frasa lebaran kuda terkait kegagalan pemerintah dalam menangani sejumlah aksi demo. Jokowi pun membalas dengan tidak menyelesaikan akar masalah (baca: tuntutan pendemo) tetapi justru “menghabisi” para penuntutnya. Menjelang aksi 212, sejumlah pentolan demo- meski tidak terkait langsung dengan aksi Bela Islam, ditangkap dengan tuduhan makar. Tidak lama setelah itu, polisi bergerak cepat dalam memproses “laporan masyarakat” yang ditujukan untuk para pentolan GNPF MUI dan hasilnya seperti yang sudah ditulis di atas.