Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Teori Perubahan Politik 20 Tahunan ala Fahri Hamzah

Diperbarui: 15 November 2016   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Tribun Jateng

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyampaikan sebuah teori linimasa atau timeline perubahan politik di Indonesia. Menurut Fahri, sejarah bangsa Indonesia mengalami gelombang perubahan setiap 20 tahun. Sayangnya fakta yang dijadikan alas teorinya maksa sehingga pernyataannya tak ubah provokasi untuk melakukan pergantian kekuasaan secara inkonstitusional.

Untuk mendukung teorinya, Fahri mencontohkan perubahan politik yang dimulai dari Gerakan Sumpah Pemuda 1928, Kemerdekaan RI 1945, Gerakan 30 September 1965, Gerakan Malari 1974, dan Gerakan Reformasi 1998. Fahri meyakini perubahan politik di Indonesia akan segera terjadi dan di tahun 2016 telah terjadi pemanasan menuju perubahan. Pernyataan Fahri dikemukakan dalam pidato pembukaan Kongres Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Jakarta, kemarin.

Benarkah perubahan politik yang terjadi di Indonesia selalu dalam rentang waktu 20 tahunan? Mari pahami dulu arti 20 tahunan. Mengacu pada pemahaman umum, 20 tahunan berarti beranda pada rentang atau kisaran 20 tahun. Nah, rentang waktu antara 1928 ke 1945 adalah 17 tahun. 1945 ke 1965 tepat 20 tahun. Tetapi rentang waktu antara 1965 ke 1974 hanya 9 tahun. Sementara dari 1974 ke 1998 adalah 24 tahun. Dengan demikian, terlalu maksa jika disebut 20 tahunan.

Kedua, perubahan yang dihasilkan. Sumpah Pemuda 1928 adalah tonggak perubahan pola pikir (mindset) dan kesadaran para pemuda dan elit politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tetapi tidak ada perubahan dalam tatanan pemerintahan. Gelora yang terjadi tidak menyentuh level bawah maupun pemerintahan kolonial Belanda. Tidak ada gejolak, aksi, pemberontakan atau perang semesta melawan penjajah pada dan pasca 1928.

Hal itu berbeda dengan peristiwa tahun 1945 yang menjadi titik awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus pemindahan kekuasaan dari tangan penjajah sehingga perubahan yang terjadi sangat radikal dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Demikian juga peristiwa 1965 yang berujung pada pergantian rezim Soekarno ke rezim Soeharto. Terjadi perubahan yang sangat masif baik dalam tatanan masyakakat maupun pemerintahan.

Lalu apa yang berubah pasca Peristiwa Malari 1974? Tanpa bermaksud mengecilkan para pemuda dan mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi antimodal asing yang digalang sejak kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) Jan P. Pronk dan mencapai puncaknya saat kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei tangga 14-17 Januari 1974, perubahan apa yang dicapai usai Peristiwa Malari? Selain pergantian Panglima Kopkamtib dan Kepala Bakin, tidak ada perubahan mendasar lainnya. Bahkan peran IGGI semakin kuat sementara produk-produk otomotif Jepang terus membanjiri jalanan di Jakarta, juga kota-kota lainnya. Peran intelektual dikandangkan, sementara militer dimajukan sehingga penguasa semakin kuat mencengkeram rakyatnya. Nalar dimatikan, diganti jargon-jargon kosong.

Peristiwa Malari tidak bisa disamakan dengan people power 1998. Bukan saja terjadi perubahan politik maha dasyat yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan sentralistik Jenderal Besar Soeharto, peristiwa 1998 juga berimbas pada perubahan tatanan masyarakat, sosial maupun ketatanegaraan dengan dilakukannya Amandemen terhadap UUD 1945. Kepala daerah hingga presiden yang semula dipilih oleh lembaga perwakilan, diubah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Negara juga menjamin kebebasan berserikat dan memberi ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengekspresikan aspirasinya. Sesuatu yang tidak ada di masa sebelumnya.

Dari dua hal itu, waktu dan esensi yang dicapai atau perubahan yang terjadi, teori timeline 20 tahunan yang dikatakan Fahri Hamzah, jelas tidak tepat dan cenderung maksa. Fahri hanya mencari alas untuk memperkuat provokasinya. Fahri hendak 'mengedukasi' massa bahwa perubahan politik, termasuk pergantian kepemimpinan nasional, melalui gerakan massa adalah kehendak sejarah, sudah tersurat.

Meski semua hal dapat terjadi dan perubahan politik bisa berlangsung dengan sangat cepat, tetapi jika melihat kondisi saat ini, sulit untuk sampai pada gerakan massa yang berujung pergantian kepemimpinan nasional. Meski bisa saja menumpang pada isu-isu sensitif, menunggangi gerakan massa seperti pernah disampaikan Presiden Joko Widodo, tetapi belum tentu berhasil karena masih banyak prasyarat yang dibutuhkan. Salah satunya figur pemersatu, lintas golongan dan partai politik.

Walau bukan sesuatu yang dilarang, dan sudah menjadi 'tujuan' setiap politisi, akan lebih bijak jika Fahri tidak mengipasi massa untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara yang menciderai proses demokrasi karena ongkos sosialnya terlalu besar.

Salam @yb

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline