Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Menunggu Ahok Lampaui Angka 50

Diperbarui: 21 Oktober 2016   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: kompas.com

Jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan cuti mulai tanggal 26 Oktober 2016 untuk memulai kampanye pilkada DKI. Sebagai petahana, elektabilitas Ahok ternyata belum mencapai 50 persen. Meski masih unggul jauh dibanding lawan-lawannya, dari berbagai survei yang sudah dirilis, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat hanya pada kisaran 31-45 persen.

Hasil survei terakhir yang dirilis Saiful Mujani Research Center (SMRC) hari ini menunjukkan elektabilitas Ahok-Djarot mencapai 45,4 persen, Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni 22,3 persen dan Anies Baswedan – Sandiaga Uno 19,9 persen. Ini adalah survei terbaru yang digelar pada 1-9 Oktober 2016 dengan melibatkan 810 orang yang dipilih secara acak. Menurut Direktur SMRC Sirojudin Abbas, margin of error sebesar 3,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Pada 6 Oktober lalu, Populi Center di mana Sunny Tanuwidjaja, staf khusus Gubernur Ahok, duduk sebagai yang Dewan Penasihat, merilis hasil survei yang menunjukkan elektabilitas Ahok- Djarot bertahan di angka 45,5 persen. Sementara Anies- Uno meraih 23,5 persen dan Agus-Sylvi mendapat 15,8 persen.

Survei yang dilakukan PolMark Research Center (PRC) malah menunjukkan adanya penurunan elektabilitas Ahok. Menurut Direktur Eksekutif PRC Eep Saefulloh Fatah, pada Juli 2016, elektabilitas Ahok masih 42,7 persen. Namun, dalam survei yang dilakukan pada 28 September hingga 4 Oktober, elektabilitas Ahok-Djarot hanya 31,9 persen, Anies-Uno 23,2 persen dan pasangan Agus-Sylvi 16,7 persen. Eep mengatakan survei dilakukan terhadap 1.100 responden yang terdistribusi secara proporsional di setiap kota di Jakarta. Margin of error atau tingkat kesalahan survei ini adalah 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Hasil dari survei terakhir Lingkaran Survei Indonesia (LSI), elektabilitas pasangan Ahok-Djarot mendapat 31,4 persen, Anies-Unoa 21,1 persen dan Agus-Sylvi 19,3 persen. Sementara hasil survei, Media Survei Nasional (Median) elektabilitas Ahok-Djarot 34,2 persen, pasangan Anies-Djarot 25,4 persen dan Agus-Sylvi hanya mendapat 21,0 persen.

Elektabilitas Ahok pernah melambung saat awal-awal menyatakan akan maju melalui jalur independen. Sejumlah lembaga survei mendapai elektabilitas di atas 50 persen. Dari hasil survei SMRC bulan Juni 2016, elektabilitas Ahok mencapai 53,4 persen. Namun, setelah memutuskan maju melalui jalur partai politik, termasuk setelah mendapat dukungan PDI Perjuangan, elektabilitas Ahok terus turun. Jika mengacu pada hasil survei SMRC, dari Juni ke Oktober 2016, elektabilitas Ahok tergerus 9 persen.

Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebabnya seperti jalur yang dipilih, serta munculnya calon-calon yang tidak sesuai perkiraan awal, tidak sekelas Abraham Lunggana yang selama setahun terakhir menjadi sparring partner Ahok,

Jika hasil survei mampu memotret realitas sebenarnya, dipastikan gelaran Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung dua putaran. Sesuai pasal 11 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pemenang Pilkada DKI harus memperoleh suara minimal 50 persen. Sementara untuk pilkada di daerah lain tetap mengacu pada UU No. 8 Tahun 2015 mekanismenya menggunakan suara terbanyak.

Tidak dipungkiri, terkadang hasil survei tidak berbanding lurus dengan hasil pemilihan sebenarnya. Kasus Pilkada DKI 2010 bisa menjadi acuannya. Pasangan Fauzi Bowo - Nacrowi Ramli (petahana) yang menurut survei LSI memiliki elektabilitas 49,1 persen, ternyata pada pemilihan sesungguhnya kalah oleh pasangan Jokowi-Ahok yang pada survei tersebut hanya memiliki elektabilitas sebesar 14,4 persen.

Tetapi banyak juga hasil survei yang mendekati hasil pemilihan sebenarnya. Kasus Pilkada Surabaya 2015 lalu adalah salah satu contohnya. Perolehan suara Tri Rismaharini yang berpasangan dengan Whisnu Sakti Buana, tidak terpaut jauh dari hasil survei yang dilakukan sebelum pemilihan.

Ke depan, “perang survei” akan semakin gencar. Masing-masing pasangan calon diyakini akan menggunakan jasa lembaga survei untuk “mengukur” elektabilitasnya. Kita berharap lembaga-lembaga survei, baik yang disewa oleh pasangan calon, maupun yang independen, dapat menampilkan hasil kerjanya secara objektif. Hasil-hasil survei yang bombastis, justru tidak akan dipercaya oleh masyarakat. Terlebih saat ini banyak pihak menilai peta kekuatan tiga pasangan calon yang akan memperebutkan “tahta” DKI, cenderung ketat, di mana pasangan Ahok-Djarot masih memimpin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline