Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Fanatisme Versus Rasionalitas Pemilih PDIP

Diperbarui: 9 Oktober 2016   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMPAS.com/Indra Akuntono

Bukan perkara sulit bagi pemilih (baca: kader dan simpatisan) PDI Perjuangan untuk menentukan pilihan pada gelaran pemilu, pilpres maupun pilkada. Dari data dan fakta yang tersaji pasca Pemilu 2004, prosentase perolehan suara calon yang diusung PDIP dalam gelaran pilkada, sama dengan atau lebih besar dari hasil pemilu sebelumnya. Sangat jarang perolehan suara calon yang diusung PDIP dalam sebuah pilkada di bawah perolehan suara PDIP di daerah tersebut pada pemilu sebelumnya.

Loyalitas pemilih PDIP sudah teruji selama belasan tahun. Hanya pemilih PKS yang bisa menyamai militansi dan loyalitas pemilih PDIP. Meski pilkada, juga pemilu dan pilpres, memilih orang (calon), namun pemilih PDIP cenderung akan tunduk pada sosok yang dipilih partai. Itu sebabnya, meski sosok tersebut tidak dikehendaki, tetapi manakala partai telah mencalonkannya, mayoritas pemilih PDIP akan tunduk dan memberikan suara pada calon tersebut.

Kasus Sutiyoso di Jakarta dan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah hanyalah beberapa contoh ketika keputusan DPP PDIP (baca: Megawati Soekarnoputri) berbeda dengan aspirasi mayoritas pemilihnya. Kader-kader PDIP di DPRD DKI yang saat itu merupakan mayoritas, tetap tunduk pada keputusan DPP mencalonkan Sutiyoso-Fauzi Bowo, meski bagi warga PDIP, Sutiyoso dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyerbuan kantor DPP PDI kerusuhan 27 Juli 1996.  

Demikian juga dalam Pilgub Jawa Tengah. Kader dan simpatisan PDIP saat itu lebih menghendaki Rutriningsih yang sudah terbukti sukses menjadi Bupati Kebumen selama dua periode dan juga Wakil Gubernur Jawa Tengah. Tetapi setelah Megawati menunjuk Ganjar Pranowo, pemilih PDIP pun tunduk. Bahkan perolehan suara Ganjar-Heru di Kebumen jauh melampaui perolehan suara pasangan Hadi Prabowo-Don Murdono yang didukung Rutriningsih.

Dari dua kasus itu- mestinya  mudah saja untuk menyimpulkan bahwa pemilih PDIP akan memberikan suaranya pada pasangan Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat pada gelaran Pilgub DKI Jakarta. Penolakan kader-kader PDIP sebelum DPP mengambil keputusan, hanya dinamika yang tidak akan berpengaruh terhadap pasangan calon yang sekarang telah ditetapkan dan didaftarkan ke KPUD. Terlebih PDIP sudah sukses “merebut” Ahok- sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama, dari genggaman Golkar, Hanura dan Nasdem yang sudah terlebih dulu mencalonkannya. Juga sukses menyingkirkan komunitas Teman Ahok- relawan Ahok, yang dulu sempat mendiskreditkan PDIP dengan ujaran dan karikatur. Dengan bahasa yang sederhana, tidak ada alasan bagi pemilih PDIP untuk menolak keputusan Megawati mengusung Ahok-Djarot.

Ternyata faktanya tidak demikian. Dari beberapa hasil survey- kecuali survei yang dilakukan Populi Center di mana Sunny Tanuwidjaja- staf khusus Ahok, duduk sebagai Dewan Penasehat,  elektabilitas Ahok justru terus turun pasca ditetapkan sebagai calon gubernur oleh PDIP. Dari hasil survey yang dirilis hampir bersamaan waktunya, elektabilitas Ahok tinggal 31,9 persen (Polmark)  dan 31,1 persen (Lingkaran Survei Indonesia/LSI). Sedangkan dari hasil survei Populi, elektabilitas Ahok tetap tinggi yakni 45,5 persen seperti diberitakan di sini

Menarik untuk dicermati, mengapa elektabilitas Ahok justru turun setelah diusung secara resmi oleh PDIP. Menurut Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira penurunan elektabilitas Ahok sudah diprediksi sebelumnya seperti dimuat di tribunnews.com

Namun, selain munculnya pasangan calon yang lebih fresh dan memiliki track record bersih, sikap pemilih PDIP juga harus dicermati. Sebab kasus Sutiyoso dan Ganjar Pranowo berbeda dengan Jakarta. Kasus Sutiyoso ‘melukai’ batin kader PDIP, dan kasus Ganjar lebih pada ‘peperangan’ level elit yang tidak menimbulkan dampak apapun bagi warga PDIP di level bawah. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan Ahok karena langsung bersinggungan dengan hajat hidup para pemilih PDIP.

Bukan rahasia lagi jika mayoritas pemilih PDIP adalah kalangan bawah (wong cilik) yang hidup di daerah-daerah kumuh, pinggiran dan cenderung tidak memiliki akses kepada lingkar kekuasaan, di level paling bawah sekalipun. Sementara kebijakan Ahok selama menjabat gubernur, menyasar pada kelompok ini. Mereka dipaksa menutup lapak usahanya karena dianggap melanggar perda. Mereka dipaksa keluar dari kampungnya karena dianggap sebagai penyebab banjir dan kekumuhan kota.

Bukan berarti mereka senang tinggal di daerah kumuh, melanggar aturan, dan suka hidup dalam kubangan kemiskinan. Yang mereka harapkan dari seorang pemimpin adalah memberikan solusi atas masalah yang dihadapi, bukan menggusurnya. Jika kampungnya kumuh, ya ditata sebagaimana yang dilakukan Presiden Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo dan juga Gubernur DKI. Jika memang harus digusur karena tidak ada pilihan lain, gusurlah dengan cara-cara yang elegan, minimal mendengarkan aspirasi warga yang akan digusur seperti yang dicontohkan Jokowi.

Dari gambaran tersebut, para pemilih PDIP kini dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Fanatisme dan loyalitas mereka berbenturan dengan kelangsungan hidupnya. Namun calon lainnya seperti pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno juga sulit diterima karena faktor sentimen pada partai pengusungnya. Berat bagi pemilih PDIP untuk memberikan suara pada calon yang diusung PKS. Fakta bahwa Anies “pecatan” kabinet Jokowi dan masuk ke kubu lawan (Gerindra), semakin menambah sikap antipati warga PDIP.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline