Kembali petahana Basuki Tjahaja Purnama menunjukkan sikap ‘santunnya’. Meski baru sebatas janji, namun tetap patut diapresiasi. Sebab salah satu kelompok yang bertekad tidak akan mendukung dan memilih Ahok disebabkan karena sikap 'koboinya'. Ketika Ahok merasa apa yang diucapkan merupakan bahasa “sehari-hari” di kampungnya, tidak demikian bagi warga Jakarta, terlebih bagi etnis Jawa. Ketika Ahok bilang ‘lu’ ke orang yang lebih tua, pasti akan mengurangi simpati orang Jawa yang kebetulann mendengarnya.
Peradaban (budaya) suatu masyarakat tidak serta merta ada. Ia mengalami proses, bertahun dan berabad. Melewati satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak mudah untuk melepas ikatan seseorang dari kulturnya. Demikian juga bagi etnis Jawa yang ada di Jakarta dan jumlahnya cukup signifikan. Bahwa terjadi shock culture ketika mereka melakukan migrasi ke wilayah dengan budaya berbeda, dan kemudian melakukan adaptasi agar bisa diterima, tidak bisa dipungkiri. Namun budaya yang melekat dalam dirinya sejak ia lahir dan diturunkan dari orang tua serta lingkungan pertamanya, tidak serta merta hilang. Sopan-santun, menghargai orang yang tua dengan menggunakan bahasa (lisan maupun tubuh) halus, akan selalu dibawa meski mereka berada di lingkungan (budaya) yang berbeda. Semarah apapun orang Jawa, dia tidak akan mungkin memaki (apalagi dengan membawa isi kebun binatang) kepada (yang lebih) orang tua. Jika pun marah itu sudah tidak tertahankan, sudah melukai harga dirinya, sebagian dari mereka akan memilih melakukan tindakan fisik semisal membunuhnya. Silahkan baca dan pelajari falsafah kehidupan orang Jawa.
Sejarah (babad) Jawa adalah sejarah yang berisi pertumpahan darah. Pergantian kepemimpinan di kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa tidak pernah lepas dari ontran-ontran yang berujung pada pertumpahan darah. Di Jawa pula kita mengenal berbagai peperangan besar. Ini tentu kontradiksi dengan sifat orang Jawa yang dikenal luas sebagai pribadi yang santun, lemah-lembut dan nyaris tidak pernah menggunakan bahasa kasar. Orang Jawa tidak mudah marah, namun sekali marah, seumur hidup akan dikenangnya dan (nyaris) tidak mengenal kata maaf.
Dari pemahaman inilah muncul kelompok anti Ahok yang didasarkan pada perilakunya. Kesantunan seorang pemimpin adalah harga mutlak karena jika pemimpinnya ‘urakan’ bagaimana dengan yang dipimpin? Bukankah ada ungkapan guru kecing berdiri murid (akan) kencing berlari? Pemimpin harus memberi contoh dan menjadi suri tauladan rakyatnya. Sehebat apapun Anda, jika sifatnya adigang-adigung, urakan, bertutur-kata kasar, percayalah Anda tidak akan pernah diterima (sebagai pemimpin) di lingkungan Jawa.
Pada komunitas lain, mungkin berbeda. Mereka tidak peduli dengan tutur kata, bahasa tubuh dan kepribadiannya. Sepanjang dia bisa bekerja dengan baik, memberi kesejahteraan pada rakyat, sebodo amat kelakuannya. Mau mabok, mau ngaco, mau memaki dengan nama binatang, tidak ada urusan.
Jadi, jika Ahok tetap dengan style-nya, dia akan sulit untuk diterima (dipilih?) oleh orang Jawa yang ada di Jakarta. Tentu tidak 100 persen, tetapi pasti mayoritas.
Entah karena mendapat masukkan atau mungkin mempelajari karakter orang Jawa, Ahok akhirnya bisa memahami hal itu. Setidaknya bisa kita dengar dari janji yang diucapkan saat memberi sambutan pada acara peresmian posko pemenangannya yang diberi nama “Rumah Lembang” tersebut. di sini
Jika janji untuk tidak lagi menggunakan (kebiasaan) bahasa dari kampungnya bisa memperbaiki citra dirinya di depan orang Jawa yang ada di Jakarta dan memiliki hak pilih, Ahok masih memiliki pekerjaan rumah untuk merangkul dua kelompok lain yang menjadi ‘musuhnya’ yakni mereka yang tiidak suka dengan kebijakannya dan mereka yang tidak (akan) memilih karena keyakinannya.
JIka faktor yang terakhir susah untuk ‘ditaklukkan’ karena berkaitan dengan pemahaman aqidah, setidaknya Ahok bisa merangkul kelompok kedua yakni mereka yang dirugikan akibat kebijakannya. Jangan dulu under estimate. Jangan terlalu mudah menyimpulkan sesuatu dengan argumen kekanak-kanakkan semisal menyimpulkan pembenci Ahok pasti anti China, rasis, koruptor, maling, pemakai lahan negara, dll. Hanya orang-orang yang berpikiran pendek, rasis dan narsis yang berkesimpulan seperti itu- yang berpikir lebih baik maling dari kaumnya daripada nabi dari etnis lain.
Ada banyak kebijakan Ahok yang tidak memberi manfaat bagi masyarakat Jakarta. Satu contohnya, kebijakan penghapusan three in one dan mengganti dengan penerapan (nopol) ganjil genap. Mungkin (sekali lagi, mungkin) hanya 20 persen masyarakat Jakarta yang memiliki mobil lebih dari satu dengan nopol berbeda (ganjil-genap). Sementara sisanya, yang cuma memiliki satu mobil hanya bisa menggunakan mobilnya selama 15 hari dan selebihnya dikandangin. Kebijakan ini tentu diskriminasi karena tidak menyentuh orang-orang kaya (yang memiliki mobil lebih dari satu dengan nopol berbeda). Jika tujuannya untuk mengurangi kemacetan, mengapa hanya dikenakan pada yang ‘miskin’? Bagi yang tinggal di luar Jakarta, tentu tidak ada pengaruhnya. Bahkan mungkin sulit untuk memahaminya. Tapi bagi mereka yang setiap hari melintasi jalan-jalan tersebut, pasti akan mencaci-maki kebijakan tersebut, terlepas apakah dia beretnis Jawa, Batak, Bugis, Tionghoa.
Kebijakan seorang pemimpin mestinya bersifat umum dengan memperhatikan semua aspek. Harus seminimal mungkin menimbulkan gap antar warga yang satu dengan warga yang lain. Meminimalisir kecemburuan antar warganya. Belum lagi jika dibahas program yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab faktanya, jumlah kemiskinan di masa Ahok mengalami peningkatan. Ini tentu ironi mengingat sudah ribuan warga miskin Jakarta terpaksa tunggang-langgang ke daerah karena tempat usahanya di area yang melanggar hukum (perda) diluluh-lantakkan. Andai saja mereka-mereka ini masih ada, niscaya angka kemiskinan di Jakarta jauh lebih besar lagi. BUkan berarti pro pelanggaran (perda), tetapi masih banyak pendekatan yang lebih baik dari sekedar ‘mengusirnya’. Jika Anda dokter yang baik, tentu bisa mengobati koreng di jari tangan, bukan dengan cara memotong jarinya.