Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Uppercut Sandiaga untuk Ahok

Diperbarui: 22 Agustus 2016   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: sandiuno.com

Menghadapi rivalitas yang tidak seimbang, bakal calon gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno (Sandi) memilih strategi merangkul lawan. Bukan hanya petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terus dirangkul, namun juga terhadap calon lain. Cara itu memang efektif untuk menghindari hujan hujatan di media online yang didominasi buzzer Ahok. Sayangnya, Sandi tidak memiliki pukulan pendek yang mematikan sehingga dia akan kehabisan waktu tanpa bisa merobohkan lawan.

Dalam beberapa hari terakhir, Sandi rajin “main” ke Balai Kota, sebutan untuk pusat pemerintahan  sekaligus kantor Gubernur DKI Jakarta. Sanmdi sukses menemui Ahok dalam kapasitasnya sebagai (mantan) ketua umum DPP‎ Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia. Meski hanya diberi waktu satu menit untuk bicara- setidaknya demikian pengakuannya, Sandi berhasil mengirim pesan kepada masyarakat Jakarta, khususnya pendukung Ahok, jika dirinya tidak bermusuhan meski tengah terlibat rivalitas dalam kontestasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Sandi juga sukses mengajak bicara Sekretaris Daerah Provinsi Jakarta Saefullah dan sejumlah mantan pejabat lainnya. Bahkan Sandi sudah mengunjungi ruang kendali Jakarta Smart City yang ada di lantai 3 Gedung Balai Kota, meski katanya sempat diusir seperti dikutip kompas.com. Jauh sebelumnya, Sandi pun mengaku anaknya penggemar Ahok sehingga minta dibelikan kaos bertema Gubernur DKI Jakarta itu yang dijual Teman Ahok- organisasi relawan Ahok.

Bukan hanya kepada Ahok, terhadap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang namanya terus diserukan untuk maju dalam PIlgub DKI, Sandi terkesan “mengalah”. Mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia itu tidak sungkan-sungkan mengatakan dirinya siap turun level dengan hanya menjadi calon wakil gubernur, andai Risma benar-benar ke Jakarta. Sandi pun ikut mengkampanyekan Risma seperti terbaca dari pernyataannya ketika mengatakan ibu-ibu di Pasar Klender Jakarta Timur menangis minta agar dirinya membujuk Risma ke Jakarta seperti dikutip detik.com.

Dari serangkaian aksi itu, apakah menunjukkan Sandi kurang pede untuk merebut kursi gubernur DKI? Tunggu dulu. Yang sebenarnya adalah Sandi tengah memainkan salah satu varian politik dalam menaklukkan lawan yaitu dengan cara merangkulnya. Politik model ini dipakai Presiden Joko Widodo sejak menjadi wali kota Solo.

Jokowi merangkul siapa saja, termasuk lawan politiknya untuk mencapai kemenangan hakiki. Saat melawan Prabowo Subianto dalam kontestasi pilpres beberapa waktu lalu, Jokowi tidak mau membalas serangan lawan-lawannya. Serangan dari segala arah, termasuk dari pendiri PAN Amien Rais, ditanggapi dengan guyon tanpa melakukan serangan balik. Dampaknya, terjadi polarisasi opini di mana Jokowi dipersonifikasikan sebagai si lemah dan sebaliknya Prabowo menjadi tokoh yang “beringas” dan “jahat”.

Diakui atau tidak, saat ini dengan mudah masyarakat Jakarta bisa tunjuk hidung ketika ditanya siapa calon gubernur yang arogan dan beringas dan siapa calon yang teduh dan bersahabat. Bahwa DKI membutuhkan pemimpin yang “galak” karena- meminjam istilah mantan gubernur DKI Sutiyoso- isinya “binatang buas”,  itu soal lain. Galak dan tegas tidak identik dengan suara keras dan gaya bicara yang meledak-ledak sambil menujuk muka orang.

Apakah strategi Sandi akan berhasil? Sejauh ini sudah cukup efektif. Melawan dominasi Ahok yang memiliki reputasi mentereng sebagai (setidaknya menurut para pendukungnya) pemimpin bersih, banyak prestasi dan selalu memanusiakan kaum pinggiran yang hidup di kolong jembatan, bantaran sungai dan daerah slum lainnya, Sandi terlihat mulai dikenal dan diterima oleh masyarakat. Tentu hal itu belum bisa dijadikan alat ukur elektabilitasnya. 

Jika popularitas Ahok mendekati sempurna (100 persen) dengan elektabilitas di kisaran 40 persen, Sandi baru sampai di angka 40 untuk tingkat popularitas sehingga elektabilitasnya jelas belum beranjak dari kisaran 5 persen. Memang ini capaian luar biasa mengingat Sandi berangkat dari titik nol dan belum memiliki ‘perahu’ karena baru Partai Gerindra (15 kursi) yang sudah menyatakan dukungan. Sandi masih membutuhkan dukungan partai politik yang memiliki sedikitnya 7 kursi di DPRD DKI.

Tetapi jika ingin mengalahkan Ahok, Sandi harus memiliki pukulan mematikan. Tidak bisa hanya merangkul dan merangkul. Sesekali Sandi harus melancarkan pukulan uppercut yang tepat sasaran. Berkunjung ke “wilayah konflik” semacam Penjaringan, Kampung Duri dan lainnya, tidak akan memberi efek dramatis. ‘Mengambil’ Saefullah yang merupakan “tangan kanan” Ahok juga tidak akan menyumbang suara karena Saefullah berada dalam ‘paket’ yang sama dengan Ahok.  

Salah satu pukulan yang mampu menggetarkan dominasi Ahok adalah masuk ke wilayah yang paling sensitif yakni daerah pecinan. Bawa program-program yang dibutuhkan komunitas Tionghoa, yang menyentuh hatinya, dan (jika kelak terpilih) akan menguntungkan usahanya. Lihat reaksi Anton Medan dalam acara Indonesia Lawyer Club ketika Adhyaksa Dault membalas argumennya dengan menggunakan ungkapan bijak dalam bahasa Mandarin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline