Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Politik Balas Dendam Mega dan SBY, Cerminkan Dirinya bukan Negarawan

Diperbarui: 17 Agustus 2016   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) dan Wakil Presiden Boediono (kedua kanan) memberi salam kepada Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri (kiri) ketika memasuki ruang acara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/11/2012). Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada proklamator kemerdekaan Indonesia yang juga Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia Soekarno dan Mohammad Hatta pada rangkaian peringatan Hari Pahlawan Nasional tahun 2012. | KOMPAS/RIZA FATHONI

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono sudah dua tahun berturut-turut tidak hadir dalam sidang tahunan MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen dan upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI di Istana. Sikap SBY sebenarnya wajar saja andai tidak dikaitkan dengan “boikot” yang dilakukan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri saat SBY berkuasa selama 10 tahun.

Tidak ada keharusan bagi mantan pejabat tinggi negara hadir dalam sidang tahunan MPR/DPR maupun upacara 17-an di Istana Merdeka. Undangan yang dikirim kepada para mantan pejabat tinggi itu hanya bentuk penghormatan negara atas jasa-jasa mereka  yang telah mengabdikan diri bagi bangsa sebagaimana para veteran dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Namanya undangan- meski ada embel-embel kehormatan, adalah hak si terundang untuk hadir atau tidak. Toh hadir atau tidaknya mereka  tidak mengurangi kekhidmatan dan bobot pelaksanaan agenda tahunan tersebut.

Tetapi ada hal-hal yang mereka berdua lupakan. Baik SBY maupun Megawati adalah tokoh panutan bagi banyak rakyat Indonesia. Terlepas kekurangan dan kelebihan masing-masing, namun diakui atau tidak, keduanya memiliki pengaruh terhadap perjalanan bangsa ini. Apa yang mereka pertontonkan, disadari atau tidak, akan dicontoh oleh rakyat Indonesia, terutama kader-kader mereka yang pemahaman politiknya masih hitam-putih: jika bukan kawan, berarti lawan.

Miris kita melihat tingkah-laku mereka. Mereka tidak mau belajar kepada para politisi sebelumnya yang tetap mengedepankan persatuan meski berbeda paham dan pemikiran. Seberapa besar perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta, seberapa tajam perbedaan pendapat Tan Malaka dengan Syahrir, namun mereka tetap bersahabat dan saling menghormati kapasitas, argumen dan pendapat lawan. Mereka hanya berbeda pemikiran, namun tetap hangat sebagai sahabat. Ingat, sahabat yang baik adalah sahabat yang mau menerima perbedaan dan tidak memaksakan pemikirannya pada sahabatnya karena dengan begitu dia menganggap sahabatnya hanya sebatas objek yang harus mengikuti kehendak dan pemikirannya, bukan subjek yang merdeka.

Megawati memiliki alasan untuk membenci SBY akibat kepiawaian SBY “menutupi” rencananya untuk maju dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2004. Megawati menuding SBY “tidak jantan” karena selalu mengelak ketika ditanya apakah dirinya akan maju pilpres atau tidak. Megawati yang saat itu hendak maju pilpres sebagai petahana, merasa dikhianati oleh pembantunya sendiri karena hanya dua hari setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat.

Meski demikian, tidak seharusnya Megawati menguarkan kebenciannya kepada publik. Sebagai politisi senior, mestinya Megawati dapat memisahkan persoalan pribadinya dengan kepentingan yang lebih luas. Sikap Megawati yang mem-blow up ketidaksukaannya dengan SBY menjadi noktah hitam yang mengotori kepiawaiannya dalam berpolitik.

Kita awalnya berharap SBY bisa menjadi negarawan. Jika ketidakhadirannya di tahun pertama kita bisa memaklumi karena mungkin SBY masih terkena post power syndrome, tidak demikian halnya di tahun kedua. Meski tidak bermaksud mengunggulkan laki-laki, tetapi SBY mestinya bisa membebaskan dirinya dari perasaan melankolis yang umumnya dimiliki kaum perempuan. Lagi pula yang menjadi presiden saat ini bukan Megawati. Jika SBY menganggap Presiden Joko Widodo adalah representatif PDIP dan PDIP adalah Megawati, tentu keliru besar. Jika demikian, apa bedanya SBY dengan beberapa politisi amatir yang sampai sekarang masih suka “baper” akibat kekalahan dalam kontestasi pilpres kemarin?

JIka SBY menolak menghadiri undangan kenegaraan itu karena  enggan duduk bersebelahan dengan Megawati, sebenarnya tinggal dikomunikasikan dengan pihak panitia. Toh posisi duduk hanya protokoler yang bisa diubah untuk mengakomodir kepentingan yang lebih luas. Apa salahnya jika SBY dan Megawati duduk berseberangan namun dalam level sederajat. Jika satu di kanan, yang satu di kiri. Meski cara ini juga tidak baik karena seolah membenarkan perseteruan keduanya, tetapi rakyat akan memakluminya. Banyak contoh model “pemisahan” seperti ini. Bukankah awal muasal sebutan kaum kiri dan kanan dalam konteks politik berasal dari dua kubu yang sulit menyatu namun keduanya merasa memiliki hak hadir dalam persidangan-persidangan negara?

Sudah dua kali dalam dua tahun SBY memilih memimpin upacara bersama “rakyatnya” sendiri. Kita berharap di tahun ketiga SBY bisa mengubah sikapnya agar rakyat mengenangnya sebagai negawaran, bukan politisi yang hanya mengejar jabatan dan doyan mengumbar ego. Ada hal-hal besar yang harus diwariskan SBY, Megawati dan juga para pemimpin lainnya kepada generasi saat ini dan mendatang. Berikan contoh kepada rakyat tentang arti persatuan dan kesatuan yang hakiki. Jangan sampai kelak sejarah menulis Anda dengan bahasa sarkasme. Jangan sampai sejarah menulis Anda sebagai presiden sebagian rakyat Indonesia saja.

Salam @yb        




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline