Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Tiga Skenario Koalisi Kekeluargaan Ketika Ahok Gagal Nyalon

Diperbarui: 9 Agustus 2016   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koalisi Kekeluargaan | Foto: Kahfi Dirga Cahya - Kompas.com

Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Petahana dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun paham tentang itu sehingga tidak akan menyangkal jika mungkin saja salah satu partai pendukungnya batal mengusung dirinya. Setelah pintu untuk maju melalui jalur independen ditutup KPU, hengkangnya salah satu dari tiga partai yang selama ini mendukung  dirinya, akan menutup peluang Ahok untuk menjadi peserta Pilgub DKI, karena tujuh partai lainnya yang memiliki kursi di DPRD DKI sudah bergabung dalam Koalisi Kekeluargaan.

Konstelasi politik Ibu Kota kekinian mungkin tidak pernah terpikirkan oleh banyak pengamat. Jika sebelumnya Ahok begitu dominan dan superior, maka hari ini kita melihat kekuatan Ahok diamputasi dengan manis oleh Partai Golkar. Keberlangsungan pencalonan Ahok pada gelaran Pilgub DKI Jakarta sangat bergantung pada sikap politik Hanura, Nasdem dan Golkar. Sebab dengan hanya bermodalkan 24 kursi di DPRD DKI Jakarta (Hanura 10 kursi, Golkar 9 kursi dan Nasdem 5 kursi), posisi Ahok jelas sangat rawan,  Jika sebelumnya Ahok bisa “mengatur” ketiga partai yang tumbuh dari akar yang sama tersebut, saat ini Ahok harus banyak “mengalah” agar selembar surat dukungan  yang kemarin diberikan tidak dicabut. Inilah kepiawaian para politisi Golkar mempreteli kekuatan Ahok seperti pernah ditulis di sini

Mungkinkah satu dari tiga partai itu mencabut dukungan kepada Ahok? Sangat mungkin. Terlebih jika Ahok ternyata tetap tidak bisa “dikendalikan”. Mari kita lihat beberapa fakta yang mungkin akan dijadikan pintu keluar oleh ketiga partai tersebut.

Pertama, Ketua Umum Partai Nasdem  Surya Paloh memiliki kedekatan khusus dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Meski pilihan (baca: kepentingan) politik tidak linier dengan kedekatan personal, namun bukan hal yang sulit untuk merundingkan kembali siapa calon yang akan diusung pada pilkada DKI mendatang. Jika Koalisi Kekeluargaan mampu memunculkan calon dengan potensi kemenangan tinggi, bukan mustahil Nasdem akan membelot. Sebagai pendatang baru, Partai Nasdem sangat berkepentingan untuk mendukung calon dengan elektabilitas tinggi sebagai persiapan mengikuti Pemilu 2019.

Kedua, Partai Hanura akan memilih ketua umum baru setelah Wiranto didapuk menjadi Menko Polhukam. Sesuai komitmen Presiden Joko Widodo agar anggota kabinetnya tidak rangkap jabatan di partai, Wiranto kemungkinan akan segera melepas posisinya di Hanura sehingga akan akan ada pemilihan ketua umum baru. Dengan asumsi itu, bukan hal yang mustahil ketua umum Hanura yang baru akan meninjau kembali sejumlah dukungan yang pernah dibuat di era Wiranto, termasuk di pilkada DKI Jakarta.

Bagaiamana dengan Partai Golkar? Sejak awal, dengan cantik  Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua Umum Setya Novanto memainkan irama saling bersahut. Ketidaksetujuan Ical terhadap  keputusan Golkar mendukung Ahok, sengaja di-blow up oleh kader-kader Golkar sendiri sebagai reserve manakala terjadi situasi darurat. Jika nanti nanti Golkar menarik dukungan, maka akan dimajukan sikap Ical. Dengan nada riang, para politisi Golkar pun bilang, “Ketua Dewan Pembina memutuskan untuk mencabut dukungan sehingga kami harus patuh...bla...bala...bla....”

Tentu masih banyak hal yang bisa digunakan sebagai alas pembenar jika akhirnya mereka mencabut dukungan, termasuk sikap Ahok sendiri. Selama mereka masih bisa mengendalikan Ahok, mereka akan setia sampai pendaftaran. Namun jika dirasa tidak menguntungkan, tidak menjadi luar biasa pula ketika mereka mencabut dukungan. Wajar-wajar saja. Bukankah ikatan dalam politik hanya kepentingan? Jika sudah tidak ada kepentingan, untuk apa pula bertahan? Dan satu hal yang sudah pasti sejak dideklarasikannya Koalisi Kekeluargaan, nasib Ahok langsung tersandera oleh sudah tiga partai. 

Lalu bagaimana jika Ahok gagal menjadi peserta pilkada DKI? Apakah pilkada DKI akan diundur? Tentunya jawabannya: tidak!

Koalisi Kekeluargaan sudah menyiapkan beberapa skenario agar terjadi all koalisi final. Salah satunya, menyiapkan dua pasangan calon sebagai antisipasi terjadinya tsunami politik di tubuh tiga partai pendukung Ahok. Skenario pertama, menyiapkan Tri Rismaharini berpasangan dengan Sandiaga Uno dan Yusril Ihza Mahendra – Sjafrie Sjamsoeddin. Pasangan pertama akan diusung PDIP, Gerindra, PKS dan PKB, sedang pasangan kedua didukung oleh Demokrat, PAN dan PPP.

Skenario kedua, Djarot Saiful Hidayat dimajukan berpasangan dengan Budi Waseso. Mereka akan menantang pasangan Yusril – Sandi. Skenario ketiga, Djarot-Sjafrie Sjamsoeddin dimajukan untuk melawan Sandiaga Uno- Budi Waseso. Beberapa nama yang masih mungkin akan diusulkan adalah Suyoto dan Yoyok Riyo Sudibyo.

Dengan skenario itu, siapapun yang akhirnya dipilih warga DKI, pemenangnya tetap Koalisi Kekeluargaan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline