Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Konstelasi Politik Jakarta Pasca Revisi UU Pilkada

Diperbarui: 2 Juni 2016   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revisi terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Berbeda dengan saat pembahasan, nyaris tidak ada perubahan signifikan dalam UU yang akan dijadikan dasar pelaksanaan pilkada serentak 2017 mendatang. Isu untuk memperberat calon independen dan keharusan petahana mundur atau legislator tidak perlu mundur jika ikut pilkada, tidak ada yang terealisasi.

Untuk Jakarta yang akan menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur 15 Februari 2017, bersama 6 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota lainnya di seluruh Indonesia, pengesahan UU Pilkada tersebut juga mengakhiri perdebatan terkait majunya sang petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) melalui jalur independen. Tidak ada lagi kekhawatiran Ahok akan dijegal melalui konstitusi. Tidak ada lagi keharusan bagi Ahok untuk mundur dari kursi Gubernur DKI Jakarta hingga 15 Oktober 2017 mendatang. Saat ini para bakal calon, baik yang akan maju melalui jalur independen maupun partai politik, tinggal mempersiapkan diri, memoles citra, menjual program dan ide-ide yang akan dilakukan jika kelak terpilih menjadi kepala daerah- untuk menarik simpati masyarakat calon pemilih.

Manuver-manuver politik tentu masih akan terus berlanjut. Dari akrobatik sampai psywar kepada lawan. Hal yang sudah jamak sebagai bagian dari bumbu demokrasi. Pemilih yang cerdas tentu tahu mana calon yang berkualitas, mana calon yang hanya pintar membungkus diri dengan pencitraan. Mana calon yang benar-benar ingin bekerja untuk seluruh rakyat Jakarta, mana calon yang hanya mementingkan kelompoknya. Realitas politik tidak bisa dilihat dengan rumus matematika. Apa yang dilihat hari ini, tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk hasil pemilihan tahun depan. Setelah mesin partai bergerak dan tim pemenangan calon melakukan pendekatan secara intensif kepada masyarakat, peta kekuatan sesungguhnya dari masing-masing calon baru akan terlihat. Ahok selangkah lebih diuntungkan karena sudah bisa memastikan diri sebagai calon- tinggal menunggu pengesahan dari KPUD Jakarta, di kala lainnya baru sebatas menyandang predikat bakal calon tanpa dukungan parpol.

Komunikasi antar bakal calon dengan partai politik di luar Nasdem dan Hanura yang sudah terlebih dahulu memberikan dukungan kepada calon petahana, semakin intens sepanjang bulan Juni-Juli. Keputusan Partai Gerindra dan partai medioker di Jakarta seperti Golkar, PAN, PPP, PKS, Demokrat dan PKB akan menjadi penentu apakah pilkada DKI Jakarta diikuti oleh calon-calon yang berkualitas ataukah hanya akan menjadi ajang unjuk kekuatan partai politik sehingga menafikan keberadaan kader-kader partainya yang memiliki kemampuan mumpuni.

Jika akhirnya PDIP tampil menjadi lokomotif koalisi “tenda besar” kekuatan politik akan mengerucut pada dua blok: independen versus parpol. Hal itu yang sangat ditakuti oleh Ahok. Dengan cerdik Ahok terus melontarkan wacana dirinya memiliki kedekatan khusus dengan para pentolan PDIP, termasuk sang ketua umum, Megawati Soekanoputri. Ketika ‘serangan’ itu tidak mampu menjegal langkah PDIP melakukan penggalangan kekuatan dengan partai-partai politik yang sealiran, Ahok mulai “main kayu’ dengan mewacanakan untuk mengorbankan bakal calon wakilnya, Heru Budi Hartono, dengan catatan PDIP mengizinkan Djarot Saiful Hidayat menjadi penggantinya.

Jika PDIP akhirnya masuk dalam perangkap Ahok, maka harapan untuk terwujudnya koalisi “tenda besar” tinggal kenangan. Sebab Partai Golkar yang masih bimbang akhirnya akan mengekor PDIP. Partai Gerindra sebagai kekuatan kedua di DPRD DKI, akan berusaha tampil menggantikan posisi PDIP. Namun Gerindra yang sekarang bukanlah Gerindra dua tahun lalu. Gerindra sekarang tidak lebih dari burung besar yang kesepian setelah ditinggal teman-temannya. Gerindra adalah perwujudan nyata dari adagium politik yang kita kenal selama ini: keabadian hanya milik kepentingan.

Gerindra kesulitan melakukan komunikasi politik dengan Partai Demokrat yang tidak pernah berani melakukan politik slengean sebagaimana Gerindra. Prabowo juga memiliki keterbatasan komunikasi dengan Golkar di bawah kendali Setya Novanto dan Nurdin Halid. Gerindra hanya mungkin bisa menggandeng PKS dan PAN dengan catatan memberikan jatah wakil kepada salah satunya. Tetapi jika koalisi bentukkannya hanya demi pelampiasan dendam kepada Ahok, bisa jadi Gerindra akan melepas posisi calon gubernur dan calon wakil gubernur kepada PAN dan PKS asal mereka mau masuk ke dalam gerbong koalisi. Lihatlah hasil ‘pembagian’ kursi pimpinan MPR dan DPR beberapa waktu lalu. Gerindra dengan ‘polosnya’ merelakan jatah kursi kadernya kepada PKS yang notabene memiliki kursi lebih sedikit di kedua lembaga tinggi negara itu. PKS yang hanya bermodal 40 kursi bisa mendapat dua kursi wakil pimpinan, sementara Gerindra yang menguasai 73 kursi harus puas dengan satu kursi wakil ketua DPR.

Jika peta pertarungannya seperti itu, Partai Demokrat tentu akan berusaha membujuk PPP dan PKB untuk bergabung dalam gerbongnya. Dengan modal 26 kursi hasil gabung Demokrat (10), PPP (10) dan PKB (6) mereka memiliki perahu untuk mengusung pasangan calon sendiri. Gabungan partai ini masih memungkinkan terbentuk andai koalisi tenda besar gagasan PDIP tidak mengakomodir kepentingan PPP di bawah pimpinan Muhammad Romahurmuziy dan PKB, yang secara historis tidak memiliki ikatan konflik kepentingan dengan Ahok. Artinya ikatan yang akan mereka bangun tidak beraroma “balas dendam” kepada Ahok, namun lebih pada kepentingan praktis dan ekonomi. Mengingat ketiganya tidak memiliki kader yang kuat untuk DKI 1, masuknya orang luar dengan membawa amunisi yang cukup, sangat dimungkinkan.

Menarik untuk ditunggu adalah seberapa kuat Heru dan Djarot menahan diri menunggu lobi-lobi politik yang tengah terjadi. Mereka tentu tidak mau hanya dijadikan “ban serep” Ahok. Keduanya, terutama Djarot, membutuhkan kepastian agar tidak ketinggalan kereta. Faktor ini yang menjadi pemicu letupan-letupan berbeda antara Ahok dan Djarot. Ahok menggunakan Djarot sebagai pintu masuk untuk mengobrak-abrik manuver PDIP. Sementara Djarot masih berharap PDIP menyandingkan dirinya dengan Ahok untuk pilkada mendatang.

Dalam situasi seperti ini langkah terbaik bagi Djarot adalah mencari panggung yang tepat untuk mengukur kekuatan yang dimilik. Karena tidak mungkin bisa memaksa PDIP, dan juga tidak dapat ‘mengatur’ Ahok, maka Djarot harus memaksimalkan kerja relawannya. Salah satunya dengan membuka wacana diusung partai lain.

Salam @yb 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline