Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Denda Rest Area; Menyelesaikan Masalah dengan (Menambah) Masalah

Diperbarui: 3 Juni 2016   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Kompasiana/Didik Purwanto

Tidak sampai sebulan lagi arus mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri akan terjadi. Masalah utama dalam ritual tahunan di negeri dengan tingkat urbanisasi sangat tinggi ini, adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan sudah sedemikian menyatu dan menjadi bagian dari ritual itu sendiri sehingga akan menimbulkan banyak pertanyaan manakala jalanan lancar. Lalu apakah karena itu pula kita harus mengecam ide pemberlakuan denda bagi kendaraan yang terlalu lama ngendom di rest area dengan tujuan untuk mengurangi kemacetan?

Meski Lahir di Jakarta, namun hampir setiap tahun penulis mudik saat lebaran. Sesekali ke Lampung, namun umumnya ke Cilacap, Jawa Tengah. Jadi penulis pernah merasakan kemacetan masa mudik lebaran ke arah barat (Sumatera) maupun Timur (Jawa Tengah). Salah satu alasannya tentu karena orang tua, yang sekarang memilih menjauhi hiruk-pikuk kota. Alasan lainnya, lebaran di Jakarta tidak sehangat di kampung, terutama bagi anak-anak. Bertemu saudara, makan makanan yang adanya hanya di saat lebaran dan ziarah ke masa lalu, bisa menjadi sumber energi baru setelah setahun bergulat dengan kerasnya kehidupan.

Mudik lebaran menjadi terminal jiwa, pemberhentian pikiran dari hal-hal yang monoton dan kering. Mudik memberikan kesadaran tentang makna kehidupan yang berputar. Jika saat mudik tahun sebelumnya dinding rumah belum retak, maka mungkin saja tahun ini kita akan menemukan satu retakan. Jika tahun sebelumnya rambut ibu masih hitam, tahun ini mungkin telah memutih. Jika tahun sebelumnya wajah ibu masih segar memancarkan kasih, tahun ini mungkin sudah keriput dan tidak lagi mengenali anaknya.

Itulah arti mudik lebaran yang sesungguhnya. Untuk mendapatkan semua itu, kaum urban rela menghabiskan tabungannya. Rela berdesakan di dalam bus, kereta atau kapal laut. Rela terhimpit  kemacetan di jalan, menempuh perjalanan panjang dengan waktu tempuh dua, bahkan tiga kali lipat dibanding jika mudik pada hari-hari biasa.  Mudik saat lebaran adalah soal hati yang tidak akan ternilai dengan uang.

Atas alasan-alasan itu, hal paling utama yang diinginkan pemudik adalah secepatnya tiba di kampung halaman, di tempat tujuannya. Ungkapan-ungkapan bernada humor seperti “mudik tanpa macet tidak berkesan, ibarat gadis cantik tanpa jerawat” lebih dimaksudkan untuk menghibur diri sendiri akibat ketidakberdayaan menghadapi kondisi yang ada. Menjaga semangat agar tetap menyala sehingga tidak berpikir untuk balik arah. Menempuh perjalanan Jakarta-Cilacap (sekitar 420 KM) selama 24 jam lebih, padahal di hari biasa hanya 7-8 jam, bukan perkara mudah. Selain stamina menurun sehingga konsentrasi berkurang, kondisi anak-anak yang mulai lelah juga mengganggu pikiran. Lagu favorit yang awal perjalanan begitu merdu, setelah melewati 10 jam perjalanan menjadi tidak indah lagi. Kondisi mobil pun mulai tidak nyaman karena kotor oleh remah-remah makanan, berbaur dengan bantal dan selimut anak-anak.

Dibukanya tol Cikopo – Palimanan, hanya mengurangi kemacetan di daerah Pantura Jawa antara Cikampek – Cirebon. Ruas Cirebon – Tegal sudah terurai sejak beberapa tahun sebelumnya setelah beroperasinya tol Kanci – Pejagan, tol yang awalnya milik PT Bakrie Toll Road, namun sekarang sudah dicaplok PT MNC Infrastruktur Utama. Kemacetan pun berpindah selepas Pejagan, Brebes hingga Purwokerto. Arus mudik 2016 diprediksi meningkat sekitar 5 persen sehingga kondisi kemacetan di dalam tol Cikampek, Cipali hingga Kanci, maupun di jalan non tol tidak jauh berbeda dengan tahun kemarin. Kementerian Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menilai penyebab utama kemacetan di dalam tol adalah penumpukan kendaraan di rest area. Dengan dasar itu, Dirjen Hubla lantas mewacanakan untuk membatasi waktu istirahat setiap kendaraan di rest area dalam tol antara 1-1,5 jam.  Jika melewati waktu yang telah ditentukan, pengemudi dikenakan denda sebesar 250.000 hingga 500.000.

Ide yang dicetuskan tanpa memikirkan kondisi di lapangan itu, harus ditolak oleh semua pihak. Denda kelebihan waktu istirahat dalam rest area, di samping tidak manuniawi, juga berpotensi untuk menambah jumlah kecelakaan lalu-lintas selama arus mudik. Ada banyak hal yang bisa dijadikan dasar penolakan tersebut.

Pertama, dasar hukum. Peraturan perundang-undangan mana yang akan dijadikan dasar hukum untuk melakukan pungutan kepada mobil-mobil yang terlalu lama berada di rest area?  

Kedua, kajian ilmiah. Apa korelasinya kemacetan dengan rest area? Rata-rata jalan tol memiliki 3-4 lajur, di mana fungsi utamanya ada pada lajur 1 (cepat), 2 (sedang), 3 (bus/boks) 4 (truk). Kendaraan yang masuk ke rest area, biasanya sudah mengambil ancang-ancang, masuk ke lajur 3 atau 4 sejak 1 Km sebelum rest area. Dengan demikian, ketika terjadi penumpukan kendaraan yang akan masuk ke rest area hanya terjadi di lajur 4. Jika pun sangat parah, luberan tidak akan sampai masuk ke jalur 2, apalagi 1. Kemacetan parah yang terjadi pada saat libur Natar dan Tahun Baru 2015 lalu sehingga memaksa Dirjen Hubdar Kemenhub (saat itu) Djoko Sasono meletakkan jabatannya, harusnya bisa menjadi studi kasus. Kemacetan yang terjadi saat itu tidak semata-mata karena tumpukan kendaraan di rest area sehingga berimbas pada antrian masuk ke rest area, tetapi kurang antisipasinya para petugas di lapangan menghadapi lonjakan volume kendaraan.

Ketiga, tujuan dasar. Pembuatan rest area di dalam kawasan tol, dimaksudkan untuk meminimalisir kecelakaan lalu-lintas. Imbauan agar pengemudi yang mengantuk istirahat dulu di rest area terdekat, tertulis di berbagai papan pemberitahuan sepanjang jalan tol. Artinya, tujuan dasar pembukaan rest area adalah untuk istirahat para sopir yang kelelahan dan mengantuk. Waktu selama 1-1,5 jam tidak ideal karena belum tentu begitu masuk rest area langsung bisa tidur. Bahkan setengah jamnya mungkin dihabiskan untuk buang air kecil dan hal-hal lain. Jika dibatasi, karena takut kena denda, mungkin saja dalam kondisi masih setengah sadar, sopir tersebut langsung cabut dari rest area. Hal itu sangat rawan karena membahayakan dirinya dan juga pengendara lain.

Keempat, padatnya antrian di gerai makan dan WC umum. Dalam kondisi yang sangat ramai, memesan makanan di kedai-kedai yang ada di dalam rest area bukan perkara mudah; pesan langsung disajikan. Kita harus antri. Demikian juga saat di WC umum. Bagi kaum laki-laki mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Jika pun antrian cukup panjang bisa mlipir ke sudut rest area yang gelap. Tetapi bagaimana dengan kaum perempuan? Sebab WC di setiap rest area cuma ada  satu, dengan 3-4 kamar kecil di bagian perempuan sementara yang akan menggunakannya mungkin mencapai 100 orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline