Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Ahok Tidak Takut HMP, Tapi APBDP 2016 dan APBD 2017

Diperbarui: 29 Mei 2016   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana untuk menghidupkan kembali Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRD DKI Jakarta terhadap Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) terus bergulir. Namun sudah bisa ditebak, wacana HMP akan kembali kandas mengingat peta kekuatan di DPRD sudah berubah. Apalagi Fraksi PDIP selaku pemilik kursi terbanyak tidak menyetujui langkah politis yang bisa berujung pada pelengseran Ahok dari kursi DKI 1.

Meski dibenarkan secara konstitusi, namun HMP kepada Ahok akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya. Masa jabatan yang tinggal satu tahun, gelaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang sudah di ambang pintu dan pecahnya koalisi di DPRD, adalah tiga faktor utama mengapa DPRD harus mengubur dalam-dalam wacana HMP tersebut. Jika dipaksakan hasilnya bisa dipastikan menjadi bumerang yang akan memukul balik lembaga DPRD DKI sendiri.

Sebaliknya, bagi Ahok, guliran HMP di DPRD justru menjadi panggung baru untuk menaikkan elektabilitas. Ahok akan memanfaatkan keblingeran sebagian anggota DPRD DKI untuk backgroundiklan gratis. Bayangkan, ketika bakal calon lain masih sibuk menyusun strategi agar bisa menjadi newsmaker, Ahok malah diberi space gratis di halaman depan media-media mainstream oleh lawan-lawannya karena HMP pasti akan mendominasi pemberitaan media-media utama, lengkap dengan sisipan kisah keteraniayaan seorang Ahok.

Mengingat besarnya keuntungan yang akan diraih, tidak heran jika wacama HMP justru mendapat ‘support’ dari Balai Kota. Ahok terus memanas-manasi anggota DPRD seperti yang dilakukannya saat hadir pada acara pencanangan HUT ke-489 DKI Jakarta di Setu Babakan. Ahok meledek anggota DPRD sedang pusing sehingga tidak ada satu pun yang hadir dalam kegiatan tersebut. di sini

Jika Ahok tidak takut- malah diuntungkan, dengan HMP, tidak demikian halnya jika anggota DPRD DKI menggunakan kekuatannya untuk menjegal Ahok melalui anggaran. Ahok sangat berkepentingan dengan APBD Perubahan 2016 dan APBD 2017 setelah meledaknya kasus suap yang dilakukan para pengusaha properti pemegang konsesi reklamasi Teluk Jakarta kepada anggota DPRD DKI.

Bukan rahasia lagi jika Ahok telah berhasil “memalak” dana ratusan miliar dari para pengembang untuk membangun sejumlah tempat di Jakarta, terutama rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang menjadi andalannya. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI M. Sanusi dan bos Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, bos-bos perusahaan pengembang di Jakarta langsung tiarap. Terlebih raja properti sekelas Aguan- pemilik Agung Sedayu Group, ikut dicekal KPK. Jika naga saja bisa diciduk, bagaimana yang masih sekelas ular sawah?

Di sisi lain, Ahok pun tidak berani lagi mengejar uang dari bos properti dengan dasar perjanjian preman seperti yang dilakukan terhadap Ariesman Widjaja. Celah untuk mendapatkan uang tunai selain dari APBD, hanya dimungkinkan dari kontribusi pengusaha terkait Corporate Social Responsibility (CSR) dan denda koefisiensi lahan bangunan (KLB). Namun dari dua sumber tersebut, potensi dananya tidak seberapa besar. Paling-paling hanya cukup untuk membeli bangku taman atau membangun satu RPTRA. Sangat jauh nilainya dari dana yang dihasilkan lewat perjanjian preman.  

Dalam kondisi seperti itu, bukan saja Ahok akan kesulitan membangun rusunawa baru untuk menampung korban gusuran, namun beberapa proyek yang dibiayai dari hasil perjanjian preman juga terancam mengkrak. Salah satunya adalah pembangunan lahan parkir di Mapolda Metro Jaya senilai 70-an miliar. Seperti diketahui proyek tersebut dikerjakan oleh PT Jaladri Kartika Paksi yang merupakan anak usaha Agung Podomoro Group. Kuat didiuga proyek ini terkait dengan perjanjian preman antara Ahok dengan Agung Pododmoro. selengkapnya di sini

Kini mau tidak mau Ahok harus berpaling kembali pada APBD yang selama ini dicuekikarena bisa mendapatkan dana dari sumber lain. APBD 2015 adalah contoh bagaimana Ahok meninggalkan DPRD dalam pembahasan APBD sehingga DPRD marah dan tidak mau membahasnya. Ahok lantas menerbitkan Pergub APBD 2015 dengan besaran ekuivalen APBD 2014. Ahok juga tidak mempermasalahkan rendahnya serapan dana APBD 2014 dan 2015 karena pembangunan proyek-proyek yang memiliki nilai berita tinggi seperti rusunawa dan RPTRA masih bisa dilakukan. 

Pada tahun 2015 masyarakat Jakarta- terlebih bagi mereka yang mengikuti perkembangan tentang Jakarta hanya dari media, tidak tahu banyak sekali proyek yang telah dianggarkan dalam APBD tahun berjalan, tidak dikerjakan. Mengapa? Karena tertutup oleh berita-berita ‘kehebatan’  Ahok mengalahkan pejabat korup, maling, penyerobot tanah negara dan orang-orang miskin.

Pembahasan Rancangan APBD Perubahan 2016 menjadi pertaruhan apakah Ahok sudah bisa menjinakkan anggota DPRD, atau sebaliknya Ahok yang berubah jinak. Ahok harus membuat strategi khusus agar APBDP 2016 bisa disahkan oleh DPRD. Jika APBDP 2015 hanya membutuhkan persetujuan Kemendagri sebelum disahkan melalui Pergub karena APBD induk menggunakan payung hukum yang sama, tidak demikian halnya APBDP 2016 yang kemungkinan akan diajukan pada bulan Juni-Juli mendatang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline