Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Ini yang Terjadi jika Pilgub Jakarta Tanpa Ahok

Diperbarui: 24 Mei 2016   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. (KOMPAS.com/ GLORI K WADRIANTO)

Harus diakui, gebyar pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 sangat semarak karena keikutsertaan calon petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Terlebih ketika Ahok memutuskan untuk maju melalui jalur independen. Banyak pihak merasa tertampar karena sebelumnya tidak terpikirkan oleh para politisi dan pengamat munculnya calon dengan membawa tiga minoritas sekaligus yakni beretnis China, beragama Kristen Protestan dan beretnis Belitung.

Para politisi semakin ‘panas’ hatinya manakala elektabilitas Ahok melejit melebihi partai politik. Dalam waktu singkat, Ahok kemudian berhasil berhasil mengumpulkan dukungan dari warga DKI dengan jumlah melebihi perolehan suara partai-partai besar. Dengan elektabilitas sekitar 50 persen berdasarkan survey Populi Center yang digawangi Suny Tanuwidjaja dan Cyrus Network yang menjadi penyandang dana awal berdirinya Teman Ahok- organisasi yang bertugas mengumpulkan copy KTP dan dukungan warga DKI untuk pencalonan Ahok, maka dengan mudah Ahok akan mengalahkan siapa pun calon yang diusung oleh partai politik, baik PDIP, Gerindra, PKS, Demkorat Golkar, PKB, PPP maupun PAN, atau bahkan gabungan seluruh partai politik tersebut- minus Nasdem dan Hanura yang sudah jauh-jauh hari mendukung Ahok.

Antusiasme warga untuk terlibat dalam hajat demokrasi lima tahunan di Jakarta juga terlihat sangat tinggi. Selain di mall-mall, posko Teman Ahok banyak didirikan di pemukiman penduduk, terutama dekat gereja seperti di daerah Kramat 5 Jakarta Pusat, tepatnya di depan Gereja Gideon. Belum lagi keriuhan yang terjadi di media-media mainstream dalam jaringan maupun media sosial serta blog keroyokan semacam Kompasiana. Tensinya lebih tinggi dibanding Pilgub 2012, apalagi 2007. Suka atau tidak, diakui maupun tidak, Ahok telah membawa fenomena tersendiri dalam kancah perpolitikan di tanah air, khususnya di Jakarta.

Lalu bagaimana jika Ahok gagal ikut dalam kontestasi Pilgub DKI 2017? Kemungkinan itu sangat terbuka didasari pada beberapa fakta.

Pertama, belum dilakukan verifikasi copy KTP dan surat dukungan yang akan digunakan Ahok untuk maju melalui jalur independen. Dari pengalaman pilkada beberapa daerah, prosentase KTP dukungan yang dibatalkan KPU sangat tinggi. KPU juga pernah membatalkan beberapa pasangan calon yang maju dari jalur independen terkait hal itu. Contohnya dalam pilkada di Kabupaten Kendal Jawa Tengah 2015 lalu. Namun kemungkinan Ahok batal karena persoalan ini sangat kecil karena jumlah dukungan yang dikumpulkan Ahok sudah jauh dari batas minimal yakni 532.000. hingga Senin (23/5) pukul 23.30, jumlah KTP dukungan sudah menembus angka 874.763. Padahal masa pengumpulan KTP dukungan akan terus dilakukan hingga Juli 2016 mendatang sehingga target 1 juta KTP dukungan sepertinya akan tercapai.

Kedua, belitan sejumlah kasus yang kini tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fakta bahwa Ahok sudah diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras dan kasus suap reklamasi Teluk Jakarta, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Jika sampai Ahok ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan untuk kasus-kasus tersebut, maka sulit bagi Ahok untuk bisa mencalonkan diri. Meski UU pilkada yang terbaru pun yakni UU No.8 Tahun 2015, tidak ada larangan bagi seorang tersangka untuk mengikuti proses pilkada, namun seseorang yang tengah ditahan akan terkendala untuk mengikuti tahapan pilkada yang membutuhkan kehadiran calon secara langsung seperti permohonan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), pendaftaran, tes kesehatan dan pemaparan visi-misi/debat kandidat.

Namun jika penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh KPU, maka proses pencalonannya tidak bisa digugurkan. Jika menang tetap akan dilantik sebagaimana Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah, Hambit Bintih yang dilantik di penjara KPK, 2013 silam.

Ketiga, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang akan dipasangkan dengan Ahok, menjadi tersangka dan ditahan KPK. Heru tercatat sudah dua kali diperiksa KPK. Pemeriksaan pertama terkait proses penentuan hak pengelolaan lahan di pulau-pulau reklamasi yang berada di Pantai Utara Jakarta, sementara pemeriksaan kedua sebagai saksi dalam kasus suap yang dilakukan Bos Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja kepada Ketua Komisi D DPRD Jakarta M. Sanusi.

Dari paparan itu, bukan mustahil Ahok benar-benar gagal maju Pilgub DKI. Jika pun poin ketiga yang terjadi, Ahok tidak sempat lagi untuk mengumpulkan KTP dukungan dengan pasangan barunya. Satu-satunya jalan, jika masih ada waktu, mungkin akan maju melalui partai politik karena Ahok sudah didukung oleh Nasdem dan Hanura yang total memiliki 15 kursi di DPRD DKI. Artinya Ahok hanya butuh dukungan 7 kursi lagi dan itu dengan mudah bisa didapat dari Golkar (9 kursi) karena melihat kedekatan Ahok dengan Ketua Umum Golkar Setya Novanto.

Jika sampai Pilgub DKI Jakarta 2017 tanpa keikutsertaan Ahok, bisa dipastikan akan terjadi beberapa hal seperti :

Pertama, pilkada DKI akan kehilangnya greget. Pertarungan antar calon-calon yang namanya sudah bersliweran seperti Yusril Ihza Mahendra, Djarot Saiful Hidayat, Suyoto dll, tidak memiliki barisan pendukung fanatik seperti Ahok. Mereka juga tidak memiliki ‘kasus’ yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Track record mereka datar-datar saja sehingga kurang menarik untuk diulas karena dipastikan tidak akan menimbulkan reaksi balik seperti yang diharapkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline