Banyak partai politik yang lahir dari hasil metamorphosis organisasi kemasyarakat (ormas). Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) adalah contoh paling anyar. Hanura lahir dari ormas Perhimpunan Kebangsaan. Sedangkan Nasdem dan Perindo lahir dari ormas dengan nama yang sama. Dengan fakta itu, bukan hal yang aneh jika kelak ormas Pergerakan Indonesia Maju (PIM) yang digagas Din Syamsuddin menjelma menjadi partai politik. Terlebih di dalamnya terdapat nama-nama yang tidak asing dalam dunia politik Indonesia seperti kader PKB Ali Masykur Musa dan pengamat politik Siti Zuhro.
Din Syamsuddin juga bukan orang asing di blantika politik tanah air. Mantan ketua umum Muhammadiyah dua periode itu sempat menduduki jabatan sebagai wakil ketua Fraksi Karya Pembangunan MPR RI (1999) dan juga wakil sekjen DPP Golkar (sebelum berubah menjadi partai politik). Nama Din Syamsuddin juga sempat dikaitkan dengan Partai Matahari Bangsa yang didirikan oleh kader-kader Muhammadiyah yang kontra terhadap Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan mantan Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais. Bukan rahasia lagi adanya rivalitas antara Din Suamsuddin dengan Amies Rais sehingga kala Muhammadiyah masih di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin, PAN nyaris tidak bisa memanfaatkan fasilitas dan jaringan ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu. Padahal meski tidak pernah diakui, kelahiran PAN dimaksudkan untuk mewadahi aspirasi politik warga Muhammadiyah.
Kini setelah purna tugas dari Muhammadiyah, mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mencari wadah baru untuk menyalurkan sumbangsih pemikirannya bagi kemajuan bangsa. Setidaknya itulah yang disampaikan Din Syamsuddin kala menyampaikan pidato kebangsaan dalam acara deklarasi PIM, Sabtu malam (21/5) kemarin. Din melalui PIM menawarkan Paradigma Jalan Tengah yang disebutnya sebagai Dasacita untuk mencapai kemajuan Indonesia. Poin utama dari Dasacita adalah mengikis sikap individualis, feodalisme dan primordialisme. Selengkapnya baca di sini
Din Syamsuddin berkali-kali menegaskan, PIM bukan untuk dijadikan partai politik. Hal itu dipertegas dengan safari yang dilakukannya dalam rangka memperkenalkan PIM sebelum deklarasi. Jusuf Kalla dan Ketua MPR Zulkifli Hasan adalah dua nama yang dikunjungi Din Syamsuddin. Dengan label ormas non partisan, PIM juga bisa mendapat sokongan dana dari berbagai pihak sebagai modal awal membangun jaringan.
Namun benarkah PIM tetap akan menjadi ormas?
Awalnya, setidaknya sampai satu tahun ke depan, PIM tetap akan bergerak menjadi ormas non partisan sehingga bebas bergerak. PIM akan melakukan kegiatan-kegiatan sosial sebagai salah satu cara untuk mengenalkan ormas baru tersebut. Din Sayamsuddin akan terus menyerukan kepada pengurus dan calon pengurus PIM agar tidak membawa organisasi itu ke ranah politik, termasuk dalam pilkada DKI Jakarta yang memiliki tensi tinggi.
Namun jika dalam satu tahun ke depan PIM berhasil membentuk kepengurusan di 33 provinsi dan 50 persen dari seluruh kabupaten yang ada, Din Syamsuddin mungkin akan mulai berubah pikiran. Jika pun tidak ingin dikatakan menjilat ludah sendiri, Din Syamsuddin akan melakukan manuver sebagaimana dulu dilakukan Amien Rais dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat melahirkan PAN dan PKB. PIM tetap akan berdiri sebagai ormas namun kemudian melahirkan partai politik. Sangat mungkin namanya Partai Indonesia Maju- mengikuti nama rahimnya, sebagaimana yang dilakukan Surya Paloh dengan Nasdem-nya.
Jika analisa ini benar, menarik untuk diketahui, mengapa Din merasa perlu mendirikan partai baru? Mengapa tidak kembali ke Golkar atau menyalurkan syahwat politiknya melalui PAN? Apakah ‘rumah’ Golkar atau PAN tidak memberikan ruang yang cukup besar untuk menampung aspirasi politiknya?
Salah satu ‘penyakit’ politisi Indonesia adalah ingin cepat-cepat menjadi pemimpin karena merasa dirinya sangat hebat. Mereka tidak mau mengikuti proses alamiah. Prinsip lebih baik menjadi ketua di tempat kecil dari pada tukang ketik di wadah yang lebih besar, telah mendarah-daging sehingga sulit untuk diyakinkan bahwa merebut jabatan strategis di partai yang sudah mapam adalah kenikmatan puncak bagi seorang politisi sejati. Di situ akan tergambar keuletan dan kepiawaiannya dalam berpolitik. Menjadi ketua partai baru bukan sebuah prestasi karena bisa dilakukan oleh siapa saja. Tinggal kumpulkan 100 orang, lalu deklarasikan dan daftarkan ke Kemenkum HAM. Selesai. Uang yang dibutuhkan juga tidak besar karena paling hanya untuk bikin kop surat, stempel, bayar notaris, dan beli nasi kotak saat deklarasi. Tempat deklarasi tidak perlu sewa karena bisa dilakukan di Tugu Proklamasi atau tempat-tempat umum lainnya yang memiliki nilai sejarah. Supaya tidak malu karena dianggap cari tempat gretongan, cantumkah sepenggal pemikiran besar para pendahulu yang namanya ada di sekitar tempat bersejarah tersebut dalam mukadimah atau cukup disinggung dalam pidato politiknya.
Partai-partai baru, yang lahirnya caesar, tidak akan pernah menjadi partai besar. Nama dan ketokohan seseorang bukan jaminan untuk meraih simpati masyarakat. Banyak contoh partai-partai yang dipimpin tokoh nasional, rontok saat pemilu. Partai Buruh dengan tokoh utamanya Muchtar Pakpahan adalah contoh nyata bagaimana nama besarnya di kalangan kaum buruh ternyata tidak menjamin partainya dipilih oleh kaum buruh. Pemilih di Indonesia masih fanatik dengan ideologi dalam tataran sempit - karena mereka sebenarnya banyak yang tidak paham ideologi. Untuk kasus ini, lihatlah para pemilih Partai Golkar yang meski tokoh-tokoh utamanya telah lengser namun tetap saja partai warisan Pak Harto itu mendapat suara tinggi dalam setiap pemilu.
Memang floating mass masih sangat tinggi, tetapi mereka bukan pemilih pintar karena pilihannya digerakkan oleh fanatisme sesaat. Sebagai contoh, pada pemilu sebelumnya mungkin dia tidak memilih PDIP. Tetapi karena ada faktor Joko Widodo yang kala itu sinarnya tengah moncer, maka pada Pemilu 2014 mereka mencoblos PDIP. Jika nanti pada Pemilu 2019 ada tokoh lain yang lebih sreg dengan hatinya, maka dia pun akan beralih pilihan. Artinya, pilihannya bukan didasarkan pada rasionalitas tetapi lebih pada fanatisme selera/rasa.