Sodok-menyodok untuk memperebutan posisi ketua umum dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golongan Karya tidak menimbulkan riak sedasyat yang diduga sebelumnya. Delapan kandidat yang berebut dukungan, terlihat saling menahan diri. Upaya jegal-menjegal dengan mem-blow up catatan hitam calon lain, nyaris tidak muncul. Hanya tim sukses kubu Setya Novanto dan Ade Komarudin yang sempat saling serang. Namun itu pun hanya pada tataran kulit, bukan isi. Apakah ini pertanda pemilihan ketua umum akan aklamasi?
Wacana aklamasi sudah santer didengungkan. Suara-suara tersebut berasal dari pengurus yang notabene dekat dengan kubu Setya Novanto (Setnov). Tidak kurang dari Sekjen Golkar Idrus Marham pun mengamini jika opsi aklamasi yang akan didahului dengan voting terbuka, bukan sesuatu yang haram bagi Gokar. Sementara calon ketua umum (caketum) lainnya cenderung menolak. Bahkan Ade Komarudin (Akom) dan Indra Bambang Utoyo mengancam mundur jika pemilihan ketum tetap dipaksakan melalui voting terbuka. Caketum lainnya seperti Airlangga Hartarto, Syahrul Yasin Limpo, Priyo Budi Santoso dan Mahyudin masih cenderung menunggu. Sedangkan Aziz Syamsuddin meyakini voting terbuka tidak mungkin dilaksanakan. Sungguh pun demikian anggota DPR dari Dapil Lampung II itu, akan ikut mundur jika opsi voting terbuka diloloskan dalam tata tertib pemilihan ketum Golkar.
Tata tertib pemilihan baru akan dibahas siang ini sehingga masih terbuka berbagai kemungkinan. Sebelumnya juga sempat muncul wacana kombinasi tata cara pemilihan yakni putaran pertama dilakukan secara tertutup. Caketum yang memperoleh dukungan suara 30 persen maju pada putaran kedua. Nah, di sini baru dilakukan musyawarah untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketum. Jika tidak tercapai musyawarah, baru akan dilakukan voting secara terbuka.
Namun model pemilihan tersebut jelas akan ditentang oleh kubu Akom dan 6 kandidat lainnya. Terlebih Airlangga Hartarto, Syahrul Yasin Limpo, Aziz Syamsuddin dan Mahyudin sudah mendatangani kesepakatan untuk memberikan suara pendukungnya kepada siapa pun dari mereka yang maju pada putaran kedua. Dipastikan Priyo Budi Santoso dan Indra Bambang Utoyo akan segera bergabung dengan mereka.
Menariknya mengapa hanya kubu Setnov yang setuju dengan opsi voting terbuka menuju musyawarah mufakat alias aklamasi? Apakah itu pertanda sudah ada pengkondisian oleh Setnov terhadap para pemilik suara, terutama pengurus DPD I dan DPD II sehingga dia begitu yakin akan mampu mengalahkan Akom dan caketum lainnya?
Perebutan ketum Golkar dalam Munaslub di Bali yang dibuka Presiden Joko Widodo Sabtu malam kemarin, sebenarnya pertarungan gengsi antara dua tokoh gaek dari istana yakni Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mendukung Akom dan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan (plus Aburizal Bakrie) yang berada di kubu Setnov. Sedang Akbar Tandjung yang sudah kehilangan pengaruh, cenderung berada di kubu Priyo Budi Santoso yang juga disokong Agung Laksono.
Dari kisruh sebelumnya yang sempat memecah Golkar dalam beberapa faksi- selain dua arus utama yakni Ical dan Agung Laksono, sebenarnya sudah dapat dipetakan kekuatan yang dimiliki masing-masing caketum. Kemenangan Ical memaksa pemerintah mengakui Munas Bali sehingga memiliki legal standing untuk menggelar Munaslub, adalah kemenangan awal yang akan berlanjut di gelaran Munaslub. Setnov dengan dukungan Ical dan Luhut, akan mampu meraih dukungan di atas 50 persen pada putaran pertama, sekalipun dilakukan melalui voting tertutup. Namun jika dilakukan voting terbuka. Setnov akan meraup suara dukungan di atas 70 persen sehingga bisa langsung ditetapkan secara aklamasi sebagai ketum Golkar yang baru.
Dari mana asal suara dukungan Setnov? DPD I dan DPD II. Seperti diketahui, dalam kisruh kemarin, seluruh DPD I dan DPD II dikuasai kubu Ical. Terlebih setelah pemerintah mengesahkan kepengurusan hasil Munas Bali yang diperluas dengan memasukkan sebagian pengurus hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Mepetnya waktu antara keluarnya SK Menkum HAM dan jadwal Munaslub membuat kubu Agung tidak sempat melakukan konsolidasi. Artinya mayoritas pemilik suara yang datang ke ajang Munaslub adalah orang-orangnya Ical.
Satu-satunya caketum yang mungkin bisa mengalahkan Setnov adalah Akom. Hal itu tidak terkait dengan posisinya sebagai ketua DPR. Dukungan untuk Akom sedikit menguat karena mendapat sokongan dari Jusuf Kalla. Jika saja kemarin kubu Akom mampu memaksimalkan isu tercela untuk menyerang Setnov sehingga yang bersangkutan gugur dari pencalonan, dipastikan Akom akan melenggang. Namun ingat, ini Munaslub dengan legal standing Munas Bali, bukan Munaslub Tim Transisi yang sudah rontokkan Ical sebelumnya. Sebagaimana ketua Steering Commite Nurdin Halid dan ketua Organizing Commite Theo L. Sambuaga, ketua Komite Etik Munaslub Golkar Fadel Muhammad pun berada di kubu Ical. Wajar saja jika Setnov yang sudah pernah disidang Majelis Kehormatan Dewan dalam kedudukannya sebagai Ketua DPR, dalam kasus Papa Minta Saham, tidak dipersoalkan Komite Etik. Dengan gemilang Setnov lolos syarat prestasi, dedikasi, loyalitas, tak tercela (PDLT) dengan hanya menunjukkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian).
Jadi, meski menggunakan sistem apapun, voting terbuka maupun tertutup, Setnov dipastikan tidak akan terbendung. Dengan demikian Ical pun akan didaulat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim). Bisa saja kemudian Dewan Kehormatan (Wanhat) dihidupkan kembali untuk mengakomodir Luhut. Jika Jokowi merestui Luhut masuk Golkar- yang berarti bertentangan dengan komitmen awal di mana para menteri dan pembantu presiden dilarang rangkap jabatan, maka itu merupakan tamparan yang sangat keras bagi Jusuf Kalla. Sebab sekali pun didukung Jusuf Kalla, Akom tidak akan leluasa menggunakan pengaruhnya di DPR untuk menekan Jokowi manakala ada Luhut di istana dengan jabatan Wanhat Golkar.
Apa hubungannya dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)? Sudah diketahui secara umum jika selama ini Ahok memiliki kedekatan khusus dengan Luhut. Jenderal tua itu yang menjadi ‘pelindung’ Ahok dalam perkara Sumber Waras. Saat Luhut datang ke balai kota, Ahok pun menjamu dengan- dalam bahasa Ahok- makan siang haram.